Mendorong pintu kayu dan masuk ke dalam, itu merupakan sebuah halaman besar, masuk ke dalam lagi ada sebuah gazebo, bebatuan, air mancur, bunga…
Ariella mengikuti Daiva dan berjalan cukup lama baru melihat bangunan bergaya Prancis berlantai tiga.
Dekorasi interior bangunan sederhana, mendekati gaya dekorasi alami, sesuai dengan selera Carlson yang diketahui Ariella.
Sepanjang jalan, Ariella tidak bisa tidak menghela nafas, di sini sangat indah seperti surga, jika bisa sering tinggal di sini, mungkin bisa hidup lebih lama beberapa tahun.
Daiva tidak memasuki rumah, berdiri di pintu dan berkata: “Karena Presdir sudah datang, dia tidak akan membiarkanmu tinggal di kamar biasa.”
Ariella berpikir dalam hati saya, kamar-kamar itu juga sangat mahal, oke? Darimananya itu kamar biasa? Tapi jika kamar-kamar itu dibandingkan dengan area villa pribadi di sini, memang sangat berbeda jauh.
Daiva kembali menambahkan: “Nyonya, di sini adalah area pribadi, orang lain tidak bisa masuk, anda tidak perlu terlalu khawatir.”
Nyonya?
Ini pertama kalinya seseorang menyebutnya seperti itu, ketika Ariella mendengarnya wajahnya memerah dan jantungnya berdetak kencang: “Daiva, kamu panggil aku Ariella saja.”
Daiva tersenyum dan berkata: “Anda adalah istri Presdir, aku tidak dapat menemukan kata lain yang lebih cocok lagi selain Nyonya.” Dalam kata-kata Daiva terdapat makna di dalamnya, sampai sekarang Ariella bahkan belum pernah bergandengan tangan dengan Carlson, wajahnya bahkan lebih panas.
“Kamu masuk dan istirahatlah, aku akan pergi dulu.” Daiva tersenyum dan dengan sopan mundur.
Ariella berdiri di ruang tamu yang besar, melihat sekeliling, seketika tidak tahu harus berbuat apa. Saat ini, Carlson berjalan masuk dari luar, dengan perhatiannya mengambil ransel yang ada di pundak Ariella, memimpin untuk naik ke atas: “Kamarnya berada di lantai dua.”
Kaki Carlson panjang, tetapi dia dengan sengaja memperlambat langkahnya menunggu Ariella mengikutinya.
Ariella mengikuti di belakangnya, berkata: “Carlson, apa aku bisa mendiskusikan sesuatu denganmu?”
Carlson membuka pintu dan memasuki kamar, meletakkan ransel Ariella di atas meja, baru berkata: “Hal kecil mengenai kamar ini diatur oleh Daiva.”
Ariella: “…” Baiklah, kalau sudah begini ya sudahlah.
Carlson berjalan ke jendela dan membuka tirai tebal, dari jendela lebar itu melihat keluar bisa melihat laut yang tak berujung, laut yang jauh seakan sangat dekat dengan langitm berwarna kebiruan. Terkadang masih bisa mendengar suara ombak yang menghantam batu, seakan seperti nada kebahagiaan. Ariella menghela nafas kemudian berkata: “Tempat yang sangat indah!”
Carlson berkata: “Jika kamu suka, kamu bisa sering datang kesini.”
Ariella menggelengkan kepalanya: “Aku tidak terlalu menyukainya.”
Tidak terlalu menyukainya, tapi Ariella tidak rela menghabiskan semua uang yang diperoleh dengan susah payah di tempat ini, dia lebih tidak ingin menghabiskan uang milik Carlson. Meskipun Carlson sudah memberinya kartu ATM sejak awal, tapi dia tidak berniat menggunakannya sama sekali. Jika suatu hari mereka bercerai, dia dapat pergi dengan mudah.
Carlson bukannya tidak bisa mendengar kebenaran dari perkataan Ariella, hanya saja dia tidak banyak bertanya, kemudian dia kembali berkata: “Pergi makan dulu, setelah makan istirahat beberapa saat, nanti sore kamu masih harus berpartisipasi dalam kegiatan divisi.”
Ariella mengangguk: “Ya.”
Setelah beberapa saat, kemudian mendengar Carlson berkata dengan sedikit canggung: “Ariella, jika kamu ingin berendam di air panas pada malam hari, kamu dapat kembali ke sini dan berendam di kolam air panas pribadi.”
Ariella secara reflek menggelengkan kepalanya, “Aku akan berendam dengan yang lainnya.”
Carlson berkata dengan tegas: “Tidak ada pria yang ingin melihat Istrinya memakai pakaian yang minim dan dilihat oleh pria lain.”
Oh …
Ariella tiba-tiba merasa bahwa Carlson benar-benar terlalu protektif, walaupun dia tidak memiliki cinta untuknya, tetapi ketika orang lain menatapnya, Carlson sepertinya memiliki pendapat.
Setelah tidur siang, Ariella baru bergabung dengan yang lain, Lindsey berkata dengan iri: “Ariella, kamu bisa tinggal di daerah villa mewah, kamu benar-benar beruntung.”
Ariella berkata: “Tinggal dengan atasan benar-benar tidak begitu nyaman.”
Pemimpin yang dia sebutkan mengacu pada Carlson, tetapi Lindsey berpikir bahwa itu Daiva, jadi dia mengangguk dan berkata: “Yang kamu katakan benar, lebih menarik bermain dengan orang yang akrab. Jika tidak, kamu berdesakan tidur dengan kami saja malam nanti.”
“Sudahlah lupakan saja.” Ariella mana berani mengiyakannya, bagaimana jika Carlson datang dan menjemputnya di tengah malam?
Agar setiap orang dapat bersenang-senang, HRD sudah menyiapkan banyak kegiatan yang menyenangkan. Menurut pembagian divisi, mereka dibagi menjadi empat tim, merah, biru, kuning dan hijau. Aktivitas pertama adalah kompetisi minum bir.
Secangkir besar bir dua liter, masing-masing satu laki-laki dan satu perempuan menggunakan 1 sedotan untuk minum, siapa yang habis duluan yang menang. Kelompok terakhir yang selesai minum akan menerima hukuman truth or dare.
Setiap pemimpin tim untuk meminta manajer divisi untuk menerima tantangan.
Pada pertandingan pertama, tim merah di mana Ariella berada memenangkan posisi pertama, tim kuninglah yang kalah, para anggota menerima hukuman truth or dare.
Ketika Tim Kuning dihukum, Presdir yang dingin itu datang, seketika dia menjadi fokus semua orang. Carlson mengisyaratkan agar semua orang terus bermain, dia duduk di samping dan menonton pertandingan dengan tenang.
Presdir sudah datang, perilaku semua orang sedikit tidak bebas, tapi ketika MC mengumumkan permainan kedua, semuanya sudah mengesampingkan semuanya.
Permainan kedua adalah permainan menggigit apel. Apel digantung dengan tali, tiap tim memilih sepasang pria dan wanita, masing-masing menggigit dari dua sisi apel, yang paling terakhir menghabiskan apel yang akan menerima hukuman disiram dengan air es.
Ariella adalah pemain kali ini, para anggota Tim Merah secara kompak memilihnya untuk menerima tantangan. Ariella merasa bersalah melihat sekilas ke arah Carlson, melihat pandangan matanya yang tidak biasa, nyalinya menjadi lebih besar, melangkahkan kaki untuk maju.
William dari Tim Merah juga mengambil inisiatif untuk berdiri, ingin berpasangan dengan Ariella.
Saat ini, Daiva melirik sekilas Carlson, tetapi apa yang dilihatnya berbeda dari apa yang dilihat Ariella, dia segera menepuk tangannya dan berkata, “Apa kalian ingin melihat Presdir bermain?” Semua orang ingin, tapi mana ada yang berani bersuara, karena Daiva sudah membantu berbicara, maka keberanian mereka semakin besar.
Kerumunan berteriak serentak: “Presdir! Presdir! Presdir!” Di tengah teriakan semua orang, setelah beberapa saat Carlson akhirnya perlahan bangkit, melihat ekspresi dinginnya, seolah-olah dia terpaksa harus menerima tantangan permainan ini.
Melihatnya akan bergabung, Ariella terus berdoa dalam hatinya, berharap Carlson tidak akan memilih dirinya, jangan sampai dia memilihnya, tapi Carlson malah berjalan ke arahnya.
“Wow!” Semua orang berteriak kegirangan. Gadis-gadis itu sangat menyesal, jika mereka tahu Presdir akan berpartisipasi, bahkan jika mereka harus basah kuyup, mereka juga akan berusaha keras untuk memenangkan tantangan ini.
Berbeda dari kegembiraan semua orang, Ariella malah menunduk dan tidak berani memandangi Carlson sedikit pun, jika tahu Carlson akan ikut berpartisipasi, dia akan memakai alasan bahwa dia sedang datang bulan dan tidak ikut bermain.
MC berteriak: “Bersiap!”
Tiga anggota tim lainnya segera mendekat, keduanya menatap apel yang berada di antara mereka. Ariella masih menundukkan kepalanya, dalam hatinya berpikir lebih baik dia mengakui kekalahan saja, Carlson malah berkata dengan pelan pada saat ini: “Benar-benar ingin kalah?”