“Tubuh pasien awalnya sudah tidak baik, dan juga mengalami luka berat, menyebabkan pingsan untuk sementara, kita harus segera menolongnya.”
Tubuh pasien awalnya sudah tidak baik!
Dan juga mengalami luka berat!
Tidak tahu sudah berapa lama waktu berlalu, telinga Ariella masih menggemakan kata-kata yang dikatakan Dokter sebelum memasuki ruang UGD.
Memikirkan luka memar di sekujur tubuh Ibunya, dan memikirkan pandangan mata sedih dan penyesalan Ibunya ketika memandangnya, Ariella merasa sangat sedih hingga nafasnya sesak.
Seumur hidup ini, Ibunya itu orang lemah, tidak memiliki pendapat, tapi Ibunya telah memberinya banyak cinta padanya yang tidak kurang jika dibandingkan dengan orang lain.
Ariella masih ingat, dia sangat nakal ketika masih kecil, sering jatuh dan lututnya terluka, Ibunya sering mengobati luka-lukanya sambil menangis karena tidak tega.
Ibunya adalah wanita yang suka menangis, seorang wanita yang selalu menggunakan air matanya untuk menyelesaikan masalah.
Ibunya yang lemah dan suka menangis ini, Ibu yang sering tidak berani berbicara pada Ayahnya dengan keras, tapi malah berulang kali berdebat melawan Ayahnya demi Ariella.
Yang paling diingat Ariella adalah ketika dia menyetujui untuk bertunangan dengan Ivander, dikarenakan hal ini sang Ibu bertengkar dengan Ayahnya untuk pertama kalinya.
Itu karena dalam pikiran Ariella sang Ibu selalu mencintainya, jadi ketika dia mengalami masalah itu, ketika dia mendengar perkataan Ibunya yang ingin Ariella mengalah pada Kakaknya, Ariella baru merasa Ibunya yang paling tidak bisa dimaafkan.
Yang lain mengkhianatinya dan menyakitinya, baginya, itu hanya orang lain, dia bisa melawan dengan cara yang sama, dan bahkan membalasnya dua kali lipat.
Tapi sang Ibu adalah orang terdekatnya, dia adalah darah daging Ibunya, merupakan keluarga sedarahnya, bagaimana mungkin sang Ibu bisa mengatakan kata-kata seperti itu.
Ariella mengambil napas dalam-dalam, sebenarnya untuk apa Ibunya datang ke Kota Pasirbumi?
Apa benar seperti yang dikatakan Elisa, mendengarkan Ayahnya untuk membujuknya kembali dan menggantikan Elisa melahirkan anak untuk Ivander?
Jika benar seperti itu, Ibu tidak mungkin menangis dengan begitu sedih, dan juga tidak mungkin akan pingsan di sisi jalan.
Ariella memeluk kepalanya sendiri sambil berpikir, apa dia salah paham pada Ibunya, apa mungkin kali ini Ibunya datang bukan untuk membujuknya pulang?
Ketika Ariella sedang berpikir, ponselnya tiba-tiba berdering, membangunkannya dari pemikirannya sendiri yang dalam.
Ketika melihat nama “Tuan Carlson” di layar ponsel, dia tidak berani mengangkatnya, dia khawatir akan menangis ketika mendengar suara Carlson.
Menatap layar ponselnya untuk sementara waktu, Ariella mengambil napas dalam-dalam, mencoba menenangkan emosinya kemudian mengangkatnya, mencoba berbicara dengan nada santai pada Carlson: “Tuan Carlson, apa ada sesuatu?”
Jika tidak ada sesuatu apa dia tidak boleh meneleponnya?
Ariella tidak bisa ekspresi Carlson yang sedikit mengerutkan alisnya di ujng telepon, tapi Carlson menganggap bagai tidak ada apa-apa, berkata dengan pelan dan rendah: “Sudah siang, jangan lupa makan siang.”
“Ya.” Meskipun Carlson tidak bisa melihat Ariella sama sekali, tapi Ariella masih mencoba mengangkat senyumnya.
Ariella tidak mengambil inisiatif untuk mencari topik pembicaraan, Carlson tidak tahu harus berkata apa, jadi keduanya terdiam.
“Nona Ariella, kondisi pasien tidak terlalu optimis. Meskipun untuk sementara sudah tersadar, tapi melihat kondisi tubuhnya bisa koma kapan saja.” Lampu ruang UGD sudah padam, seorang Dokter keluar dan memberitahu Ariella secara singkat.
Ketika mendengar kata-kata Dokter, Ariella sangat cemas hingga lupa bahwa dia masih terhubung dengna Carlson.
Ariella meraih dokter dan dengan cemas bertanya: “Dokter, apanya yang bisa koma kapan saja? Bagaimana sebenarnya kondisi Ibuku?”
Dokter berkata dengan terbuka pada Ariella dan menghela nafas: “Nona Ariella, kamu jangan emosional. Kondisi fisik ibumu sangat buruk, kamu harusnya tahu itu. Dalam kondisi tubuhya yang tidak baik dan juga dipukuli, siapa juga yang akan bisa menahannya.”
Kondisi tubuh buruk dan juga dipukuli?
Jadi Ibunya kali ini karena menentang keinginan orang itu, tidak ingin datang ke Kota Pasirbumi untuk membujuk Ariella untuk kembali, kemudian orang itu kembali bertindak kasar pada Ibunya?
“Ariella, kamu berada di rumah sakit mana?” Tadi di telepon, Carlson telah mendengar situasinya dari percakapan antara Dokter dan Ariella.
“Aku …” Tadinya ingin mengatakannya, tapi pada saat terakhir, Ariella berhenti, tanpa sadar menggigit bibirnya.
Sebenarnya dia ingin memberitahu Carlson mengenai hal ini, saat ini Ariella butuh Carlson memberinya sedikit kekuatan, tapi dia tidak ingin mengganggu pekerjaan Carlson, dan dia lebih tidak ingin Carlson melihat keluarganya yang hancur ini.
“Ariella, katakan padaku, di rumah sakit mana kamu berada?” Suara rendah Carlson sekali lagi terdengar di telinga Ariella.
Ariella kembali mengambil napas dalam-dalam, berkata: “Aku berada di Rumah Sakit Rakyat Kota Pasirbumi.”
“Ariella, ada dokter, tidak akan terjadi apa-apa pada Ibu mertua, kamu jangan takut.” Carlson dengan lembut menenangkan.
“Hmm.” Ariella mengangguk dengan keras.
“Kalau begitu aku akan menutup telepon.” Setelah berkata pada Ariella, Carlson menutup telepon, sambil berjalan dan berkata, “Daiva, atur penerbangan tercepat kembali ke Kota Pasirbumi.”
“Presdir, kamu ingin kembali ke Kota Pasirbumi?” Tiba-tiba mendengar Carlson berkata dia ingin kembali ke Kota Pasirbumi, Daiva tercengang kemudian dengan cepat merespon, “Presdir, rapat sore sudah akan segera dimulai. Rapat kali ini berhubungan dengan pengembangan Group Aces di daerah Barat, jika kamu pergi sekarang … ”
Carlson benar-benar mengabaikan apa yang dikatakan Daiva, lanjut memerintahkan: “Ada lagi, hubungi Rumah Sakit Rakyat Kota Pasirbumi, biarkan mereka memberikan Dokter terbaik untuk bertanggung jawab atas Ibu Ariella, kirim catatan medis Ibu Ariella sebelum aku naik ke pesawat.”
Daiva kembali berkata: “Presdir, rapat akan segera dimulai, para petinggi di daerah Barat sudah datang …”
“Apa kamu tidak mengerti perkataanku?” Carlson berhenti kemudian melihat Daiva dengan dingin, suara itu tidak ringan atau berat, tapi malah ada ancaman yang tidak bisa terbantahkan.
“…” Daiva membuka mulutnya, tidak berani lagi membujuknya, diam-diam melirik Henry yang berada di sisi lain Carlson.
Henry menerima pandangan mata Daiva, dengan cepat mengikuti langkah Carlson, membujuk berkata: “Presdir, demi memasuki daerah barat, Group Aces menghabiskan waktu tiga tahun untuk mempersiapkannya, ini adalah rapat pertemuan yang paling penting. Jika Anda pergi, maka waktu, sumber daya dan juga uang yang dihabiskan Group Aces dalam tiga tahun terakhir sangat mungkin akan hancur.”
Carlson tidak peduli, mengangkat arlojinya dan melihat waktu: “Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk sampai ke bandara di sini?”
Daiva berkata: “Waktu tercepat adalah setengah jam.”
“Pesan tiket penerbangan ke Pasirbumi 40 menit lagi.” Setelah memerintahkan Daiva, Carlson lalu memandang Henry, “Pertemuan sore nanti biarkan Momo yang memimpin, kamu tinggal dan bantu dia.”
“Presdir …” Henry masih ingin membujuk, tapi ketika melihat mata Carlson, dia tidak mengatakan apa-apa.
Presdir mereka telah mengambil alih Group Aces secara resmi selama enam tahun, tidak ada keputusan yang gagal, dan juga tidak pernah bersikap egois seperti ini.
Hari ini dia bisa mengatakan ingin pergi sebelum rapat pertemuan yang begitu penting dimulai, sebenarnya masalah apa yang bisa membuatnya mengambil keputusan ceroboh seperti itu?