Namun, Ariella masih tidak memiliki keberanian.
Hanya tinggal sedikit saja.
“Atau tidak kamu kembalilah dulu, aku masih ada urusan.”
Tolong berikan aku waktu untuk menerimanya.
Di ujung telepon, ada keheningan lagi, untuk waktu yang lama, Ariella baru mendengar dia berkata dengan suara rendah–
“Oke.”
Ariella bagai terlepas dari beban berat, menghela nafas lega, mengatakan beberapa kata pada Carlson, kemudian menutup telepon.
Sekarang jam setengah dua belas, sudah ada rekan-rekan kantor yang bersiap untuk pergi makan.
Ariella meletakkan ponsel di tangannya, mulai berkemas dan bersiap-siap untuk keluar.
Ariella yang sedang serius mengemas barangnya, tentu saja tidak bisa melihat Carlson yang baru saja menurunkan ponselnya di luar divisi bisnis.
Kantor Teknologi Inovatif sebagian besar adalah kompartemen kaca, situasi internal dapat terlihat dengan jelas dari luar, dan saat inii, Carlson berdiri di luar divisi bisnis dan menatap Ariella dalam diam.
Dia sudah lama berdiri di sini, melihat Ariella yang duduk sambil menundukkan kepalanya di kantor, ekspresi di wajahnya terkadang suram terkadang ceria, Carlson tidak bisa tidak berpikir: Apa yang sedang Ariella pikirkan? Apa ada hubungan dengan dirinya?
Kemudian, Carlson mengeluarkan ponselnya dan menelepon Ariella.
Pertama Ariella bingung, kemudian wajahnya memerah, dan kemudian dia tersenyum seperti bunga musim panas.
Carlson telah melihat banyak wanita cantik dalam hidupnya, bahkan banyak yang lebih cantik dibanding Ariella, tapi senyum Ariella adalah yang paling indah, cerah dan mempesona. Untuk sesaat, dia tidak bisa tidak terpaku melihat senyum ini.
Carlson ingin memiliki senyum ini untuk dirinya sendiri, ingin memberitahu semua orang bahwa Ariella adalah miliknya.
Karena sopan santun, Carlson bertanya padanya.
Di luar kaca, Carlson melihat keraguan Ariella.
Tiba-tiba, sedikit merasa sedih, tidak tahu mengapa.
Ariella menolaknya, menolak untuk mengungkapkan hubungan mereka pada publik.
Carlson tiba-tiba ingin menggandeng tangan Ariella tanpa memikirkan apapun, tidak lagi bersikeras pada janji-janji aneh itu, ingin mengumumkan dengan keras – dia adalah istriku.
Tapi Carlson tidak tega, tidak tega Ariella kesulitan.
Jadi dia berkata: “Oke.”
Akibatnya, raut Ariella bagai terlepas dari beban berat dan merasa lega masuk ke dalam pandangan matanya yang gelap.
Daiva yang sudah selesai mengerjakan urusan kantor, berjalan ke sisi Carlson dan bertanya dengan suara pelan: “Presdir, apa ingin memanggil istrimu untuk pergi bersama?”
Di dalam kantor, Ariella masih mengemasi barangnya.
Carlson menatapnya dalam diam, setelah beberapa saat baru berbalik badan dan berkata pada Daiva: “Ayo pergi, tidak usah menunggu.”
Ketika Ariella tiba di ruangan restoran Lily, Carlson sudah lama menunggunya.
Begitu membuka pintu, Ariella melihat Carlson duduk dengan anggun di depan jendela ruangan, punggungnya tegak lurus.
Carlson sepertinya sedang melihat sesuatu, sinar matahari di luar jendela jatuh di dahinya, terpapar di sisi wajahnya, membuat garis-garis wajah yang tegas itu terlihat lebih menarik.
Segala sesuatu di depan matanya itu seperti lukisan, tapi, entah kenapa, Ariella melihat kesepian di dalam lukisan itu.
Tidak bisa menahannya, ingin berjalan ke sana, memeluknya dalam-dalam dari belakang.
Tapi Ariella masih belum melakukannya, Carlson sudah menyadari kehadirannya.
Carlson menoleh, tersenyum dan berkata: “Kamu akan datang.”
Matahari jatuh ke matanya, seperti lautan bintang.
Ariella merasa wajahnya panas, buru-buru menghindari tatapan mata yang menarik itu, menjawab sekilas, kemudian duduk di sisi berlawanan dari Carlson.
Hari ini memakan seafood.
Scallop kukus, kepiting kari, tahu seafood, pare udang, udang cabai garam… Lima hidangan, rasanya ada yang ringan dan berat, sesuai dengan selera keduanya.
Ariella sangat suka seafood, tapi sayangnya di kampung halamannya tidak terlalu banyak seafood, kemudian, ketika dia datang ke Kota Pasirbumi, dia benar-benar banyak memakan seafood.
Ariella melihat meja yang dipenuhi makanan, menatap Carlson dengan sedikit terkejut.
Tidak tahu apakah itu kebetulan atau sesuatu yang lain, Carlson sepertinya selalu tahu apa yang disukainya, seperti seorang kenalan yang sudah lama mengenalnya.
“Kenapa?” Carlson bingung dilihat oleh Ariella, tidak bisa tidak bertanya.
“Tidak kenapa-kenapa.” Ariella memasukkan sesendok tahu ke dalam mulutnya, rasanya sangat segar, enak di lidah, Ariella tersenyum puas, “Hanya penasaran, kenapa kamu selalu tahu apa yang aku suka.”
“Karena …” Aku pernah menyelidikimu.
Separuh kalimat terakhir tersangkut di tenggorokan, Carlson tidak bisa mengatakan alasannya.
Carlson dulu menghabiskan banyak upaya untuk menyelidiki Ariella, dia tahu dengan jelas apa yang telah Ariella alami, apa yang Ariella suka … Tapi apa ini benar-benar alasannya? Mengapa Carlson menghabiskan begitu banyak upaya untuk membahagiakan Ariella?
“Hmm?” Melihat kata-kata Carlson terhenti, Ariella mengerjapkan matanya.
“Tidak apa-apa, baguslah jika kamu menyukainya.” Kata Carlson, dia tidak tahu mengapa dirinya tidak bisa memberikan jawaban, jadi dia memotong topik pembicaraan.
Jawaban ini sangat resmi, sangat asing, Ariella tidak tahu bagaimana melanjutkan pembicaraan, hanya mengucapkan terima kasih kemudian menunduk untuk makan dalam diam.
Keduanya makan dalam diam, tidak tahu berapa lama keheningan itu, Carlson tiba-tiba mengeluarkan suara dan bertanya pada Ariella dengan sedikit keraguan: “Apa kamu tidak suka udang cabai garam?”
Ariella tercengang, baru bereaksi setelah beberapa saat, dia memakan semua hidangan kecuali udang cabai garam… Carlson makan sambil mengamati Ariella, bahkan dia bisa menyadari hal ini.
“Suka.” Ariella menjawab sambil tersenyum.
Ariella sangat menyukai udang cabai garam, biasanya dia bisa memakan sepiring sendirian.
Tapi meskipun sangat enak, tapi memakannya sangat merepotkan, dan lagi tidak terlalu bagus dilihat. Jadi, Ariella tidak ingin memakannya di depan Carlson.
Tapi Carlson tidak berpikir begitu, Carlson tahu bahwa udang enak dimakan tapi sulit untuk dikupas.
Setiap kali memakan hidangan ini dengan Efa, maka Efa akan ribut meminta Ibunya untuk membantu mengupas, karena dia tidak terlalu bisa mengupas dan melukai dirinya sendiri. Ibunya sangat memanjakan Efa, jadi setiap kali Ibunya akan mengupas sepiring penuh udang untuk Efa.
Ariella mengatakan dia suka memakannya tapi tidak memakannya, apa mungkin karena ini?
Setelah memikirkannya, Carlson mengambil sarung tangan sekali pakai kemudian mengenakannya dan mengambil seekor udang, mengingat bagaimana Ibunya mengupas udang dan mencoba untuk mengupasnya.
Carlson tidak suka makan udang, tentu saja dia tidak bisa mengupasnya, jadi ketika mengupasnya terlihat tidak bisa, dan untuk waktu yang lama masih tidak mengerti caranya.
Ariella melihat Carlson yang sudah mencoba begitu lama tapi masih tidak berhasil, jadi Ariella mengambil seekor udang, “Mengupasnya seperti ini.”
Sambil berkata, Ariella memutar kepala udang, kemudian menggunakan sumpit untuk memasukkannya dari ekor udang, daging udang segar dengan cepat terlepas dan keluar.
Carlson melihatnya bagai keajaiban, kemudian dia juga ingin mencobanya, jadi dia belajar dari cara Ariella kemudian mengambil sumpit. Tapi bagaimanapun, dia tidak bisa mengeluarkan daging udang dengan mudah seperti yang Ariella lakukan.
Ariella melihat tampang Carlson yang bodoh, tidak bisa menahan tawa, tapi malah disambut oleh Carlson dengan memutar bola matanya.
“Sini bantu aku.” Kata Carlson.
Ariella kembali mengambil udang, ketika ingin menunjukkan caranya, tapi malah mendengar Carlson berkata: “Ajari dengan memegang tangan.”
Carlson mengatakan itu dengan ringan dan alami, seolah-olah memang sudah seharusnya begitu.
Ariella menatap matanya yang penuh dengan bintang, tiba-tiba wajahnya memerah.
Hanya mengupas udang saja, mengapa wajahnya memerah?
Ariella menggelengkan kepalanya, menghempaskan pikiran aneh di benaknya. Kemudian bangkit dan berjalan ke sisi Carlson.
Carlson duduk, Ariella berdiri dan dia hanya bisa membungkuk, kemudian meraih tangan Carlson dan mengajarinya dengan memgang tangannya.