Efa menggigit giginya, tidak bersuara.
Darwin menundukkan kepalanya dan mencium dahinya, berkata sambil tersenyum: “Efa, jika kamu tidak mau, aku tidak akan memaksamu.”
Kapan dia bilang dia tidak mau?
Pria ini pasti sengaja salah menafsirkan maksudnya.
Dalam hati Efa tidak puas, dia mencubit pinggang Darwin, memelototinya, juga tidak buka mulut berbicara.
Darwin dengan wajah tidak bersalah dicubit olehnya: “Aku sudah bilang aku tidak akan memaksamu. Untuk apa kamu masih melototiku?”
Dia masih berani bertanya padanya untuk apa melolotinya.
Dia barusan bukannya bermaksud melakukannya, sialan, mengapa tidak bertindak?
Jika Darwin dia ingin menjadi pria sejati, ketika dia mengatakannya keluar dia akan segera bertindak, begitu rempong seperti wanita.
Darwin mengangkat bahu: “Jika ada sesuatu yang mau dikatakan padamu, kamu memelototiku begitu, membuatku sangat takut.”
Dia takut kentut, dia hanya menggodanya.
Pria ini, Semakin tua semakin tebal wajahnya, semakin tua semakin minta dihajar.
Jika bukan karena dia menyukainya, dia pasti sudah melempar pria itu dari jendela.
Matanya melirik sinis, Efa masih kesal, dan bergegas menggigit Darwin: “Darwin, kau bajingan tua, apakah matamu buta?”
Jika buka matanya buta, bagaimana mungkin dia tidak melihat bahwa dia sangat bersedia.
“Mau?” Kata Darwin bertanya lagi, sudut bibir yang sombong terangkat lebih tinggi, dan ada trik kecil semacam dia telah berhasil.
“Mau.” rempong bukan kepribadian Efa. Kepribadiannya blak-blakan dan ingin melakukan apa ya melakukan apa.
“Baiklah, memuaskanmu.” Jelas-jelas dia sudah lapar dan ingin makan “daging”, tetapi dia malah memgintimidasi istrinya, Panglima perang ini juga sangat jahat.
Darwin memeluk Efa dan bersiap untuk kembali ke kamar untuk “memberi makan” dirinya sendiri. siapa tahu bahwa ketika dia berbalik dia melihat Diego berdiri didepan pintu ruang belajar, dan memandang mereka berdua dengan tatapan wajah jijik.
Efa dengan cepat membenamkan kepalanya di atas dada Darwin, berpura-pura tidak melihat apapun.
Darwin batuk pelan, dan menyembunyikan kecanggungannya, dan berkata lagi: “Nak, pergi main dengan gamemu, ayah ibu sedang ada urusan.”
Meskipun anak ini sering kali merepotkan, tetapi bagaimanapun dia juga anak mereka, dan Darwin masih mencintai bocah nakal ini.
“Ayah, Ibu baru berusia tiga puluhan, tetapi kamu sudah berumur empat puluh tahun, hati-hatilah.” Diego si bocah itu begitu konyol sampai dia meninggalkan kata yang begitu berarti, kemudian pergi memainkan permainannya.
“Apa maksudnya?” Darwin tertegun.
Efa tersenyum puas: “Darwin, bukan aku yang kamu tua ya, putramu juga mengatakan bahwa kamu sudah tua.”
“Bokong bocah itu tidak sakit lagi kan.” Darwin mendengus, dan ketika dia melihat Efa di dalam pelukannya, dia tersenyum nakal. “Efa, aku tua atau tidak, kamu yang paling tahu jelas.”
“Kamu belum tua?” Efa harus mengakui bahwa Darwin benar-benar belum tua.
Dengan tubuh yang six pack dan kekuatan fisik yang baik yang dipertahankan dengan berolahraga selama bertahun-tahun ini, tidak dapat dibandingi oleh banyak remaja putra di awal usia dua puluhan.
Bisa mendaparkan Darwin, ini adalah hal yang paling membanggakan Efa dalam hidupnya, suatu hari kembali ke dunia akhiratpun, dia masih bisa menyombongkan hal ini.
“Aku membiarkanmu mencobanya.”
Jadi, dalam beberapa jam berikutnya, Darwin membuktikan satu hal kepada Efa.
Efa menangis dan berkata – dia belum tua! Sungguh belum tua!
……
Ada orang pernah mengatakan bahwa dua orang yang saling mencintai bersama, bahkan meskipun mereka menjalani hari yang hambar, kehidupan nya juga akan manis seperti madu.
Mengenai siapa yang mengatakan ini, Lourdes dan Vanessa sudah tidak ingat, tetapi hari-hari yang mereka jalani berdua begitu, manis dan bahagia.
Meskipun hanya ada mereka berdua yang ada di dalam villa, sepanjang hari saling bertatapan, tetapi tidak satupun dari mereka berpikir bahwa beberapa hari ini dijalani dengan membosankan.
Sebaliknya, keduanya sangat ingin hidup seperti itu damai tentram, sampai selama-lamanya.
Lourdes sibuk menyelesaikan urusannya, mendongak dari tumpukan dokumen, begitu dia mendongak dia melihat Vanessa yang sedang sibuk membuat cemilan di dapur.
Jelas-jelas ada ruang kerja, tetapi kerja di ruang kerja dia tidak bisa melihatnya, jadi dia sekalian memindahkan tempat kerjanya ke ruang makan, bisa melihatnya kapan pun dia inginkan.
Ketika Lourdes mendongak, Vanessa dengan sensitif merasakannya. Dia berbalik tersenyum kepadanya dan berkata: “Apakah pekerjaanmu sudah selesai?”
“Ya, pekerjaan hari ini sudah selesai,” Lourdes mengangguk, saat memandangnya, bibir tanpa sadar muncul senyum yang dangkal.
Setahun terakhir, sudah terjadi terlalu banyak hal, tetapi untungnya Vanessa nya masihlah Vanessa nya, dia masih dia yang dulu, sama sekali tidak berubah.
Vanessa membuka oven, mengenakan sarung tangan tebal, dan mengeluarkan sayap ayam yang baru saja selesai dipanggang, dan mengirimnya ke atas meja: “Aku secara khusus membuatnya untukmu, kamu bisa mencicipinya.”
Vanessa tahu bahwa Lourdes adalah karnivora, tidak suka makan sayuran hijau, hanya suka makan daging.
Jadi dia secara khusus mencari beberapa resep untuk membuat daging di Internet. Seperti daging kukus, iga kukus, sayam ayam panggang dan sebagainya.
“Vanessa, apakah kamu berniat untuk membuatku gemuk?” Lourdes tersenyum, lalu dia mengambil sumpit dan memasukkan sayap ayam panggang itu ke dalam mulutnya.
“Kamu harus lebih gemuk sedikit,” kata Vanessa.
Mungkin karena Lourdes pernah terluka parah. Dia jauh lebih kurus dari sebelumnya, jadi Vanessa berpikir untuk membuatnya sedikit gemuk.
“Sebentar lagi tahun baru. Apakah ingin membunuhku untuk merayakan tahun baru?” Lourdes menikmati sayap ayam yang dibuat oleh Vanessa, dan masih tidak lupa untuk menggodanya.
“Apanya bunuh membunuh, hati-hati dengan perkataanmu.” Karena dia pernah kehilangan Lourdes, Vanessa mengalami rasa sakit karena kehilangan dia, jadi dia sangat gugup dan menghargai hari-hari bersamanya, dan dia tidak bisa mendengarnya mengatakan hal yang tidak-tidak.
“mulutku yang nakal.” Lourdes itu menepuk mulutnya, “Aku janji lain kali aku tidak akan pernah mengatakan hal bodoh seperti itu lagi.”
“Ya.” Vanessa mengangguk dan dengan gugup menatap Lourdes. Dia ingin melihat dari ekspresinya apakah dia mengasese masakannya.
Setelah Lourdes selesai melahap sepotong sayap ayam, Lourdes menjilati bibirnya, “Ya, masakanmu semakin lama semakin baik, sepertinya tahun ini aku pasti akan gemuk.”
Vanessa mencondong bibirnya dan tersenyum lembut, “Ya, baguslah kalau kamu suka. Kamu bisa memberitahuku lagi, ingin makan apa, besok aku akan terus membuatnya untukmu.”
Lourdes menepuk posisi di sampingnya dan memberi isyarat padanya untuk duduk di sebelahnya, ketika dia duduk di sampingnya, dia segera mengambil sayap ayam dan menyuapinnya makan: “Jangan mengguruiku, kamu juga cobalah.”
Vanessa mengangguk, membuka mulutnya untuk menggigit sayap ayam yang diambilkan Lourdes, tetapi karena dengan keras mengigit, madu dari sayap ayam muncrat keluar dan mengalir dari sudut mulutnya.
Lourdes segera dengan tisu menyeka ujung mulutnya yang kotor: “Pelan-pelan, jangan seperti anak kecil mengotori pakaianmu.”