Mendengar suara Oriella yang lemah, Ariella merasa hatinya tersayat. Ujung hidungnya mulai memanas lagi dan air mata yang telah susah payah dihentikannya kembali mengalir.
Ia ingin mengeraskan hatinya, ingin berpura-pura tidak melihat anak kesayangannya, tapi ia tak bisa melakukannya, sama seperti ia tidak bisa melupakan Carlson.
Ia berlutut dan memeluk Oriella, mengusap kepalanya dan berkata, “Oriella sayang, maaf! Ibu minta maaf padamu!”
“Ibu, Oriella tidak mau dengar Ibu bilang maaf! Oriella mau Ibu menemani Oriella!” Meskipun ia masih sangat kecil, rupanya ia cukup mengerti keadaan. Ia tahu ia bisa bahagia hanya jika ayah dan ibunya bersama.
Sebelumnya ketika tidak ada ibunya, ayah dan kakek nenek bahkan tantenya semua menyayanginya, tapi tetap ada orang yang mengatainya kasihan.
Karena teman-temannya yang lain punya ibu, sementara begitu dia lahir, ibunya telah pergi, karena itu orang-orang kasihan padanya.
Ia ingin menjadi seorang anak yang bahagia, dengan begitu orang-orang tidak lagi mengatainya anak yang kasihan.
“Ibu, Oriella sayang Ayah, Oriella juga sayang Ibu!” Oriella kecil memeluk ibunya, lalu mengecup Ariella pelan, “Ibu jangan tinggalkan Oriella, Oriella akan menangis!”
Suaranya lirih, inilah suara anak kecil yang meminta. Suara yang polos dan lugu, sedikit demi sedikit terdengar isakan tangis darinya.
“Oriella sayang, maaf! Benar-benar maaf!” Selain tiga kata itu, Ariella tidak dapat berkata apapun lagi. Anaknya yang sangat mengerti keadaan itu membuat hatinya sakit.
Dia takut kehilangan Carlson, Carlson juga tidak ingin kehilangan Ariella, sedangkan anaknya terlebih lagi tidak ingin kehilangan ibunya.
Di dalam kandungannya masih hidup anaknya dan Carlson, bagaimana bisa dia tega membiarkan anak yang belum terlahir itu sudah kehilangan ayahnya.
Bagaimana jika anaknya lahir dan bertambah besar, lalu menanyakan ayahnya?
Saat itu, apakah ia memiliki keberanian untuk memberitahu anaknya, bahwa saat ia dikandung ibunya telah bercerai dengan ayahnya, sehingga ia tidak punya kesempatan bertemu dengan ayahnya setelah lahir.
Dan bagaimana jika anaknya bertanya mengapa bercerai dengan ayahnya?
Bagaimana Ariella menjawabnya?
Apakah ia akan mengatakan pada anaknya bahwa karena ibunya takut kehilangan ayahnya, sehingga memilih bercerai.
Ini adalah jawaban yang paradoks, tapi inilah yang sesungguhnya terjadi.
Karena terlalu takut kehilangan Carlson, ia mengertakkan gigi menekan hatinya untuk mengajukan cerai.
Bercerai juga berarti ia kehilangan Carlson, tapi kehilangan yang ini berbeda dengan kehilangan yang ia takuti.
Setelah bercerai, ia tidak lagi menjadi istri Carlson, tapi ia masih dapat mencari tahu kabarnya, masih bisa mengetahui bahwa ia setiap hari baik-baik saja. Ia masih dapat terus memperhatikannya dari jauh, dengan begitu semuanya lebih baik.
“Ariella, apa kau sudah mengerti?” Untuk kali terakhir, Carlson memberikan Ariella kesempatan untuk memikirkannya sekali lagi, membiarkannya memilih.
“Aku??” Dia masih takut.
Bagaimana sekarang?
Begitu memikirkan untuk kembali ke sisinya, sangat mungkin ia akan kehilangan Carlson selamanya. Hanya memikirkannya saja hatinya begitu sesak hingga tak mampu bernapas.
Ia tak berani!
Ariella tidak menjawab, berarti ia belum memutuskan.
“Oriella!” Carlson memanggil Oriella keras.
“Ayah?” Oriella mengangkat kepalanya menatap ayahnya, kedua matanya yang indah itu menyiratkan kekhawatiran, ia takut ayahnya akan membuat ibunya menangis karena terkejut.
“Antarkan Ibu ke ruang baca.” Bukankah ia tidak ingin bekerja, tapi ia malah menyuruhnya bekerja. Tapi hanya dengan bekerja di sisinya, barulah ia tidak akan dibiarkan kabur.
“Baik!” Oriella menarik tangan Ariella dan membawanya ke ruang baca.
Asalkan ibu tidak meninggalkan ayahnya, asalkan ayahnya tidak jahat pada ibunya, asalkan ayah dan ibunya kembali seperti dulu?? Memikirkan gambaran mereka yang bersama seperti dulu saja sudah membuat Oriella sangat senang, begitu senangnya hingga ia melompat-lompat sambil menggandeng ibunya.
Tapi masih ada yang mengganjal hati Ariella. Kalau begini, ia tetap tidak dapat hidup tenang bersama Carlson.
“Carlson, kita??”
“Pergilah ke ruang baca dan pikirkan baik-baik, selama kau belum memutuskan, jangan harap bisa keluar dari pintu.” Sikap Carlson yang mendominasi dan mengontrol itu muncul, persis seperti seorang raja, tidak ada orang yang boleh membantah atau melanggar perkataannya.
Karena itu, akhirnya Ariella tetap tinggal di sisi Carlson.
Carlson telah memberinya perintah mutlak, pikirkan baik-baik, dan jangan harap bisa keluar dari ruang baca sebelum memutuskan.
Ariella duduk di hadapan komputer Carlson, tanpa sengaja ia menyentuh mouse di atas meja. Monitor komputer yang sedang dalam kondisi sleep itu langsung menyala, menampilkan fotonya yang terpampang di layar monitor.
Di foto itu ia mengenakan kemeja berwarna putih yang dipadankan dengan celana jeans biru, di luarnya mengenakan jaket rajutan berwarna putih dengan bordiran beruang kecil. Rambutnya yang hitam pekat diikat kuda sembarangan??
Melihat foto itu, tanpa sadar Ariella kagum pada fotonya sendiri.
Ariella yang ada dalam foto itu tersenyum cerah, begitu energik, begitu percaya diri.
Kalau ia tidak salah ingat, ini adalah dandanannya sesaat setelah menikah dengan Carlson. Carlson baru saja dipromosikan menjadi Direktur bagian Teknologi Inovatif di kantornya dan mereka baru mendapatkan proyek besar. Karena itu perusahaan mengaturkan perjalanan wisata untuknya dan Ariella ke pegunungan.
Setelah sekian tahun berlalu, Ariella masih ingat dengan jelas, karena saat itu terjadi sesuatu yang tak terlupakan. Saat itu adalah momen yang paling indah dan akan terus melekat di ingatannya.
Karena Carlson yang memberikannya kenangan yang indah itu, ia masih ingat Carlson mengatakan padanya bahwa gunung tumpuannya seorang Direktur.
Ia juga mengatakan padanya bahwa ia tidak mempersoalkan masa lalunya, yang ia pedulikan adalah masa depannya.
Setiap hal yang terjadi selama perjalanan itu begitu melekat dalam pikiran Ariella, karena itu ia bisa mengingatnya dengan segera.
Namun, dia sama sekali tak ingat ada yang membantu Carlson mengambil foto.
Tapi dilihat dari bunga mawar Jepang berwarna warni yang menjadi latar belakang foto itu, ia langsung tahu di mana foto itu diambil.
Setelah beberapa tahun berlalu dan Carlson masih terus menyimpan foto itu, bahkan menjadikannya gambar utama saat komputer dinyalakan.
Hati Ariella kembali bergetar, tapi dalam hatinya juga terus bergejolak antara khawatir dan takut.
Dia menekan mouse itu, begitu menekannya, muncul tampilan untuk memasukkan kata kunci. Ariella mencoba memasukkan kode, angka ulang tahun Carlson.
Password salah.
Ariella kembali mencoba memasukkan ulang tahun Oriella, tapi sekali lagi muncul tampilan password salah.
Setelah dua kali salah, Ariella berpikir, kalau ia memasukkan tanggal lahirnya kali ini, pastilah akan salah juga.
Kalau bukan ulang tahun Carlson dan Oriella, juga bukan ulang tahunnya, kalau begitu angka apa kira-kira?
Setelah berpikir-pikir, Ariella tidak dapat memikirkan angka lain yang cukup istimewa untuk Carlson. Jarinya kemudian menekan-nekan 6 angka, tanpa disangka password benar.
–131224
Angka ini adalah password kartu ATM yang diberikan Carlson padanya di hari kedua setelah pernikahan mereka.
Ariella ingat, 131224 adalah tanggal 24 bulan 12 tahun 13, malam natal.
Hari itu ia ditinggalkan oleh keluarganya, dan minum sampai mabuk seorang diri.
Setelah itu barulah ia tahu, hari itu adalah pertama kali ia bertemu dengan Carlson, ditambah lagi hari itu ia mabuk sampai memuntahi Carlson.