Carlson mengenakan kemeja kerja berwarna abu-abu pucat seperti yang biasa dipakainya, dia berdiri kaku di ambang pintu, matanya yang di balik kacamata berbingkai emas itu menyipit, sorot matanya yang tak dapat dijelaskan itu terpaku pada Ariella.
Puspita juga melihat kedatangan Carlson, lalu ia menyapa sambil tersenyum, “Carlson, kau pasti datang menjemput istrimu Ariella bukan. Sekarang sudah jam pulang kerja, kau boleh membawanya pergi.”
“Hm.” Carlson mengangguk dengan sopan, ia berdeham sedikit.
“Bukannya kau dinas 3 hari, kenapa kembali lebih awal?” Tanya Ariella sambil tersenyum padanya, namun sedikit takut untuk mendekatinya.
Wajahnya terlihat tenang sama seperti biasanya, itu memang sudah menjadi pembawaannya. Namun begitu melihat sorot matanya, Ariella tahu ia sedang marah.
Carlson tidak menjawab, ia tetap melihat Ariella tanpa berkata-kata. Sorot matanya begitu lurus, rasanya sekelilingnya tidak dapat masuk dalam ruang pandangnya.
Puspita menarik lengan baju Ariella, lalu berkata dengan suara pelan, “Perselisihan kecil adalah hal biasa di antara suami istri, sekarang dia sudah datang menjemputmu, lebih baik kau ikut dia pulang.”
“Kami tidak bertengkar, apanya yang berselisih.” Ariella tidak merasa membuatnya marah, tapi sepertinya Carlson sedang marah padanya, masalahnya adalah ia tak tahu apa yang membuatnya marah.
“Lagipula tinggal beberapa hari dan kita akan libur, aku juga akan kembali ke kampung. Beberapa hari ini kau bekerja dari rumah saja, tidak perlu datang ke kantor.” Kata Puspita sambil menepuk-nepuk Ariella, “Oh ya, sepertinya Ivan sudah kembali ke Italia, soal belajar dibicarakan setelah tahun baru saja.”
“Bukankah sudah sepakat malam ini mau makan hotpot.” Kata Ariella.
“Minta lelakimu saja yang menemanimu, aku tidak mau ikut terkena amukannya tanpa alasan.” Puspita menyelipkan tas Ariella padanya, lalu mendorongnya berjalan ke arah Carlson, “Carlson, silahkan bawa pergi istrimu. Jangan biarkan dia menggantung padaku seharian.”
Carlson hanya berdeham dengan wajah dingin, tanpa mengatakan apapun. Ekspresinya juga tidak menyiratkan apa-apa, membuat Ariella hendak melangkah mundur tanpa sadar, tapi tangan Carlson dengan sigap merangkul pinggangnya, membuatnya terikat dan tak bisa kemana-mana.
Dia sedikit menggerakkan tubuhya, lalu berkata pelan, “Biarkan aku menggendong Mianmian.”
Mianmian sejak tadi sudah berlari ke arahnya, hanya saja karena ia masih terlalu kecil, tak seorangpun menyadari kehadirannya.
Ariella menggendongnya lalu berkata pada Puspita, “Kalau begitu aku pergi dulu.”
Puspita segera melambaikan tangan, “Cepatlah pergi.”
Setelah berjalan sesaat, Carlson masih saja tidak berkata-kata, dengan hati-hati Ariella melirik padanya, “Kau kenapa? Apakah ada masalah di pekerjaanmu?”
Wajahnya tetap suram, dan masih diam seribu bahasa, hanya tangannya yang semakin kuat merangkul pinggangnya.
Ariella menyunggingkan bibirnya lalu kembali bertanya, “Sebenarnya siapa yang telah membuatmu marah? Katakan saja, biar kubereskan dia.”
Tapi tak peduli apa yang dikatakan Ariella, Carlson masih saja tidak bersuara. Kalau bukan karena tangannya yang tengah merangkul pinggang Ariella, ia pasti sudah merasa tidak ada dia di sampingnya.
Setelah berusaha cukup lama, Carlson tetap saja tidak memedulikannya. Ariella juga tidak ingin bertanya lagi, ia hanya mengusap-usap kepala Mianmian dalam diam, lalu menghela napas dengan serba salah.
Kalau dia ingin bersikap dingin silahkan saja, hanya saja sekarang sedang musim dingin, dinginnya saja sudah cukup menyusahkan.
Sampai setelah naik ke mobil dan Ariella duduk di kursi penumpang di depan, sedangkan Carlson duduk di kursi kemudi, ketika Ariella sedang akan memasang sabuk pengaman, tangan Carlson yang panjang melingkari kepalanya dan menekan kepalanya ke arahnya, lalu menciumnya dengan panas.
Gerakannya sangat ganas dan liar, mirip seperti hewan liar yang gila.
Ariella hanya merasakan bibirnya sakit, Carlson menggigit bibirnya hingga sobek, darah segar mengalir di antara gigi mengalir sampai ke rongga mulutnya, membuat mulut mereka merasakan rasa darah.
Ariella tidak melawan, kalaupun Carlson sedang panas hati, maka ia akan membiarkannya melampiaskannya. Kalaupun ia yang sedang tidak senang hati, orang pertama yang dicari untuk melampiaskannya juga sama sepertinya.
Tapi kepasrahan Ariella bukan mematikan api dalam hati Carlson, tapi justru membuat amarahnya semakin membara.
Rencana awalnya memang berdinas selama 3 hari, namun hari ini Ariella tidak menjawab teleponnya sekalipun, ia terus meneleponnya sejak pagi hingga siang, tapi tetap tidak dapat terhubung dengannya.
Karena mengkhawatirkan keamanannya, dia secepat kilat membuat keputusan, semua jadwal pekerjaannya sore hari ini ditunda sehari, ia harus pulang untuk memastikan keamanannya.
Seluruh kekhawatirannya akhirnya lenyap ketika ia melihat Ariella baik-baik saja, tapi di saat bersamaan muncul rasa marah yang entah darimana asalnya.
Dia menelepon berapa puluh kali, kalau saja ia sedikit memperhatikannya, pasti ia akan mencari waktu untuk menelepon balik, tapi ia tidak melakukannya.
Dia sangat marah, marah karena ia tidak menjawab teleponnya, marah karena ia tidak memprioritaskan suaminya ini.
Carlson sekali lagi menggigit Ariella lalu melepaskannya, dengan muram ia melihat ke bibir yang sobek karena digigitnya itu, lalu mengalihkan pandangannya dan menyalakan mesin mobil.
Mereka tidak berjalan di jalan pulang ke rumah mereka, karena itu dengan hati-hati Ariella bertanya, “Carlson, apa kau tidak salah jalan?”
Carlson tetap menyetir, bahkan tidak menoleh padanya sedikitpun, menganggapnya tidak ada.
Ariella juga tidak ambil pusing lagi, ia hanya mengusap kepala Mianmian dalam pelukannya. Ia mengarahkan pandangannya ke luar jendela sambil melihat pemandangan jalan.
Dilihatnya pasangan yang tengah berjalan sambil bergandengan, ada juga yang saling merangkul…
Ia kembali menolehkan matanya pada Carlson, ia tetap saja berwajah muram dan tidak berkata apapun padanya, dan sepertinya tidak berencana memedulikannya.
“Berhenti.” Katanya.
Dia tetap mengacuhkannya.
“Aku minta kau hentikan mobilnya.” Katanya lagi.
Carlson akhirnya menoleh untuk melihatnya, tapi tetap tidak berencana menghentikan mobil.
“Carlson, hentikan dulu mobilnya, kita bicara baik-baik.” Katanya sambil mengulurkan tangan ke arah kemudi.
Saat itu kebetulan lampu merah, sehingga Carlson menghentikan mobilnya. Namun tatapannya tetap lurus ke depan, masih tetap tidak menghiraukannya.
“Carlson, sebenarnya apa yang membuatmu marah? Apa yang kulakukan sehingga membuatmu tak senang, katakan saja?” Kalau memang itu salahnya, ia akan memperbaiki.
Tapi ia tetap tidak berbicara, menolak untuk berkomunikasi dengannya.
Masalah antara suami istri lebih baik dibicarakan baik-baik, tapi kalau seperti dia ini yang terus mengambek, apa maksudnya ingin perang dingin dengannya?
Bagaimana ia bisa tahu mana yang membuatnya tak senang?
Setelah mendengar perkataan Ariella, wajah Carlson menjadi semakin buruk.
Ia hanya memalingkan kepalanya sejenak dan meliriknya, lalu kembali mengalihkan pandangannya dan menyetir.
Sepanjang jalan Ariella tidak lagi mengajaknya berbicara, sampai ketika mobil memasuki kawasan perumahan Northfork Estate, dan masuk ke cluster Moonriver.
Pintu utamanya terbuka secara otomatis, segera seorang satpam menghampiri kami. Carlson turun dari mobil, menyerahkan kunci mobil ke satpam tersebut, dan kemudian menoleh, melihat Ariella yang tetap duduk di kursi penumpang tanpa bergerak.
Mata Carlson menatapnya, kebetulan Ariella juga tengah menatapnya.
Dia meringis, setitik air mata keluar dari mata besarnya yang menatapnya dengan memelas, “Sepertinya rasa sakit di kakiku kambuh lagi.”