Carlson dan Ariella, mereka berdua bertatapan, sekali lagi dikarenakan tidak menemukan topik pembicaraan sehingga suasanya menjadi canggung.
“Jika tidak kamu kerjakan saja urusan,u, aku juga masih harus mengurus sesuatu.” Kepribadian Ariella termasuk ceria, tapi tidak tahu bagaimana, begitu dia menghadapi Carlson dia tidak tahu harus berbuat apa.
“Baik.” Carlson mengangguk, bangkit dan pergi ke ruang kerja. Ariella memandangnya sekilas, kemudian juga kembali ke kamar menyiapkan materi untuk pekerjaan besok.
Setelah sibuk sekitar dua jam dan baru selesai mengerjakannya, Ariella akhirnya menutup laptopnya, mengangkat tangan dan mengurut keningnya yang sakit. Dia bangkit dan keluar, ketika membuka pintu dia melihat Carlson yang keluar dari kamar mandi.
Dia mengenakan jubah putih, rambut pendek hitamnya masih meneteskan air, ekspresi wajahnya membuat orang merasa sangat dingin. “Ini sudah larut, cepatlah mandi dan tidur.” Nadanya acuh tak acuh, setelah selesai berbicara, dia tidak menatapnya, berbalik badan dan masuk ke kamar.
Ariella tiba-tiba tidak tahu harus melakukan apa, melihatnya sepertinya dia ingin tidur bersamanya malam ini. Tapi, dia merasa hatinya masih belum bisa menerimanya. Memikirkan hal ini, Ariella merasa jantungnya berdetak semakin kencang dan sedikit kesulitan bernafas.
Ariella berada di kamar mandi selama setengah jam dan akhirnya keluar dari kamar mandi. Dia mencari satu set piyama lengan panjang, membungkus dirinya dengan erat. Kembali ke kamar, dia tidak melihat sosok Carlson, secara tidak sadar menghela nafas lega. Namun tidak beberapa lama setelah dia menghela nafas, sudah melihat Carlson masuk ke dalam. Dari tubuhnya tercium bau tembakau samar, sepertinya dia baru saja pergi ke balkon untuk merokok. Dia tidak menyembunyikan masalah merokok, tetapi dengan perhatiannya dia tidak merokok dalam lingkup kehadirannya.
“Tidurlah.” Carlson naik ke ranjang dahulu, berbaring di sisi kanan ranjang, memberikan posisi sebelah kiri untuk Ariella.
“Oh, oke …” Ariella sangat gugup sehingga lidahnya tergagap, telapak tangannya juga berkeringat dingin.
Dia naik ke sisi lain ranjang, berbaring di sisi kiri Carlson. Ranjang besar itu lebarnya dua meter, keduanya jelas dipisahkan oleh jarak, tetapi Ariella merasa bahwa dia dikelilingi oleh aura maskulin Carlson.
“Aku tidur dulu. Selamat malam!” Ariella dengan cepat menutup matanya, berharap dia bisa tertidur dalam waktu sesingkat mungkin. Semakin Ariella tidak membiarkan dirinya berpikir macam-macam, semakin banyak hal yang dipikirkannya, semakin tidak bisa tertidur.
Berpikir dalam hati saya, apakah Carlson akan melakukan sesuatu padanya ketika dia tertidur? Tapi setelah memikirkannya, meskipun jika Carlson benar-benar ingin melakukan sesuatu padanya, itu adalah hal normal, lagipula mereka merupakan pasangan yang sah.
Ariella berpikir demikian dalam hatinya, tapi tubuhnya bertambah tegang, tubuhnya hampir dalam kondisi kaku.
Mungkin karena merasakan ketegangan Ariella, Carlson tiba-tiba mengulurkan tangan dan mengelus kepalanya: “Ariella, meskipun kita adalah pasangan yang sah, tapi aku tidak akan memaksamu melakukan hal-hal yang tidak mau kamu lakukan.” Suaranya masih seksi dan enak didengar seperti biasanya, tetapi samar-samar Ariella bisa mendengar dia tersenyum, seketika telinganya bahkan memerah. Pria ini, bisakah dia tidak begitu peka?
……
Dengan adanya jaminan dari Carlson, saraf gugup Ariella perlahan-lahan rileks, tidak berapa lama sudah memasuki alam mimpi.
Ketika terbangun, langit sudah terang, Ariella langsung meraih ponsel dan melihat jam, tidak sadar memekik: “Gawat!”
Senin sampai Jumat jam 7 pagi, jam alarmnya pasti akan berbunyi tepat waktu, apakah hari ini mogok atau dia yang tidur terlalu lelap hingga tidak mendengarnya?
“Sudah bangun.” Suara rendah dan seksi Carlson terdengar di dalam kamar, “Aku melihat bahwa waktu masih pagi, jadi aku mematikan jam alarmmu, membiarkanmu tidur lebih lama.” Mendengar suara Carlson, Ariella baru menyadari masih ada keberadaan orang lain di dalam kamar itu. Dia mendongak dan menatap Carlson yang sudah berpakaian rapi dan duduk di sofa tunggal, jari-jari rampingnya dengan asal membalik koran yang ada di tangannya, sepertinya dia sudah lama menunggunya.
“Itu, kamu tunggu sebentar, aku akan membuat sarapan sesegera mungkin.” Ariella menggaruk kepalanya dan melompat turun dari ranjang, dengan panik masuk ke kamar mandi.
“Sarapan sudah siap, aku menunggumu untuk makan bersama.” Dari belakang terdengar suara rendah milik Carlson, seketika Ariella tidak tahu bagaimana harus bereaksi.
Melihat Ariella yang terkejut bagai kelinci yang ketakutan, bibir tipis seksi Carlson tanpa sadar sedikit terangkat, ada senyum kecil dalam pandangan matanya yang dingin. Ariella ini benarkah gadis mabuk yang memarahinya selama tiga jam penuh tiga tahun yang lalu dan juga muntah di atas tubuhnya itu?
……
Setelah selesai bersiap, Ariella datang ke meja makan, dia sudah mengganti menggunakan pakaian kerjanya. Dia mengenakan kemeja putih di bagian atas tubuhnya dan rok hitam di bagian bawah tubuhnya, pakaian yang menempel pas itu memperlihatkan lekuk tubuhnya yang sempurna, terlihat lebih dewasa dari usia yang sebenarnya, sangat seksi dan feminin.
Melihat Ariella yang seperti ini, Carlson menarik kembali pandangannya, tidak meninggalkan jejak memalingkan pandangannya, duduk diam memakan sarapan. Oleh karena itu, hal pertama yang harus Carlson lakukan sebagai Presdir baru adalah mengganti seragam staf wanita di kantor, mengganti rok pendek dengan celana panjang.
Melihat sarapan yang luar biasa di atas meja, Ariella tersenyum: “Apakah ini semua dibuat olehmu?” Bukankah dia mengatakan kepadanya tidak begitu bisa memasak semalam, dalam waktu semalam bisa membuat sarapan yang begitu lezatnya, benar-benar ajaib.
Mengetahui apa yang Ariella pikirkan dalam hatinya, Carlson menyerahkan susu hangat kepadanya dan berkata pada saat bersamaan: “Itu dikirim oleh Bibi pengurus rumah.”
Carlson memiliki sedikit penyakit suka kebersihan, dan juga sangat pemilih dalam soal makanan, dia biasanya tidak makan di luar, jadi Bibi pengurus rumah yang bertanggung jawab untuk makanannya dan sudah mempersiapkan sebelumnya.
“Itu terlihat lezat.” Ariella duduk, mengambil makanan dan menggigitnya, “Ini benar-benar enak.” Makan itu lumer begitu masuk ke mulut, penuh aroma, lebih lezat dari yang dibayangkannya.
“Ya.” Carlson dengan pelan mengeluarkan suara, tidak menanggapi lebih jauh, terlihat sangat dingin. Carlson tidak menjawab, Ariella juga tidak mengatakan apa pun lagi, kemudian kembali mengambil makanan dan memasukkannya ke dalam mulut.
Setelah dia memakan habis makan itu, Ariella diam-diam melirik pada Carlson, melihat dia makan dengan elegannya, membuatnya secara tidak sadar memikirkan bangsawan Inggris. Dia tidak perlu melakukan sesuatu dengan sengaja, selalu secara tidak sengaja menunjukkan sikapnya yang elegan dan mulia.
“Apa ada sesuatu di wajahku?” Carlson tiba-tiba mengeluarkan suara, pandangan matanya terdapat keraguan.
“Ti, tidak.” Dia tertangkap sedang menatapnya sekali lagi, wajah Ariella kembali memerah, dengan segera menunduk untuk memakan sarapannya.
“Jika sarapan ini cocok dengan seleramu, maka aku akan menyuruh orang untuk menyiapkannya seperti itu di kemudian hari.” Setelah sekian lama, Carlson menambahkan kalimat lain.
Ariella sedikit tidak menerima: “Sebenarnya tidak perlu repot seperti itu.”
Carlson meletakkan sumpitnya, mengambil tissue dan menyeka mulutnya, dia berkata satu kalimat dengan datar: “Kamu adalah istriku.”
“Oh, baiklah.” Ariella tidak lagi membantah, karena alasan Carlson ini membuat hatinya menjadi lembut. Dia adalah istrinya, dia adalah suaminya, mereka adalah pasangan suami istri yang akan menghabiskan sisa hidup mereka bersama-sama.
Ariella memakan sarapan yang lezat, meminum susu yang hangat, tanpa sadar dia berpikir. Tuhan masih sangat baik padanya, menghalangi pintunya menuju kebahagiaan, tetapi masih meninggalkan jendela untuknya.