“Ariella…”
Mungkin karena tahu apa yang dipikirkan Ariella, Carlson merangkul pinggangnya, lalu membawanya dalam pelukan, berusaha memberikan kehangatan dan ketenangan.
Ariella menatapnya, menebarkan senyum yang menenangkan padanya.
Kedepannya, ia adalah menantu keluarga Carlson. Ayah Carlson adalah ayahnya, ibu Carlson adalah ibunya.
Dia adalah bagian dari keluarga Carlson, ia juga berhak memperoleh kehangatan keluarga Carlson, dia juga berhak bahagia.
Melihat senyum Ariella, Carlson tidak mengatakan apapun lagi, ia hanya menggenggam tangan Ariella dengan erat.
“Bu Vita, aku lapar.” Teriak Efa.
“Nona, nasi dan sayur sudah disiapkan.” Jawab Bu Vita sambil tersenyum.
“Terima kasih Bu Vita.” Buru-buru Efa melepaskan diri dari pelukan ayah dan ibunya, “Pa, ma, kak, kakak ipar, ayo kita makan. Kebetulan tahun baru semua ada di sini, kita punya waktu untuk mengobrol, tidak perlu diburu-buru waktu.”
Ayah dan ibu Carlson ditarik Efa untuk berjalan di depan, Ariella dan Carlson mengikuti dari belakang, sambil berjalan, Carlson tiba-tiba menghentikannya.
Ariella menoleh padanya, ia mengusap-usap kepala Ariella, “Jangan khawatir.”
Ariella tersenyum padanya, “Ada kamu, aku tak khawatir.”
Semua kekhawatiran dan kegelisahan yang tadinya ada langsung lenyap ketika ia muncul. Karena Ariella tahu, ia adalah pelindung yang teguh baginya.
Tidak ada yang berbicara selama di meja makan, bahkan Efa yang biasanya banyak bicara pun menjadi sangat tenang, tidak berani bersuara.
Aturan dalam keluarga Carlson adalah tidak berbicara ketika makan, setiap anggota keluarga harus mematuhinya, tanpa terkecuali, sudah berpuluh tahun keluarga itu memelihara kebiasaan itu.
Terkadang Ariella mengangkat kepalanya dan memperhatikan mereka, melihat ayah dan ibu Carlson, tidak sulit membayangkan mengapa Carlson bisa begitu hebat.
Penampilan dan wibawa ayah dan ibu Carlson tidak seperti orang pada umumnya, dan Carlson sepertinya mewarisi kelebihan kedua orang ini, kalau tidak mana mungkin ia bisa sehebat itu.
Kesehatan ibu Carlson kurang baik, hari ini ia telah ke luar rumah seharian, begitu selesai makan malam ia segera kembali ke kamar dan beristirahat.
Efa mengendap-endap mengikuti Carlson dan Ariella dari belakang, lalu ia menyengir, “Kak, kakak ipar, malam masih pagi. Malam ini apa yang ingin kalian lakukan?”
Carlson menghentikan langkahnya dan menatap Efa, ia melemparkan sebuah kalimat dengan nada datar, “Sudah hampir tahun baru.”
“Dasar jahat!” Begitu mendengar kalimat Carlson, Efa segera menjadi panik dan menghentakkan kakinya, “Kalau kau berani memotong uang angpaoku, aku tidak akan membiarkanmu.”
Kakaknya yang jahat ini, tahun lalu memotong setengah uang angpao yang diterima Efa dari kakek dan ayah ibunya, membuatnya melewati hari-hari dengan sulit.
Kalau tahun ini ia berani melakukan hal itu lagi, dia pasti akan membawa lari istrinya.
Tapi, saat ini dia tidak sesenggang dulu.
Sekarang ia sudah menikah, ia akan lebih banyak menghabiskan waktu dengan istrinya, tidak ada waktu lagi untuk mengurusnya.
Mengingat hal ini, wajah Efa kembali berubah cerah, lalu berkata dengan manis, “Kak, kakak ipar, kalian segeralah beristirahat, segeralah lahirkan untukku seorang keponakan laki-laki dan keponakan perempuan.”
Selesai mengatakannya, Efa berlari pergi.
Carlson yang menatapnya dari belakang hanya bisa menggelengkan kepala, lalu ia mengalihkan pandangannya pada Ariella yang tengah memperhatikannya.
“Ada apa?” tanya Carlson.
“Tidak, tidak apa-apa.” Jawab Ariella sambil menggeleng.
Dia tidak mungkin memberitahu Carlson bahwa karena mendengar perkataan Efa ia jadi kepikiran hal lain.
Begitu mereka kembali ke kamar di lantai 3 dan menutup pintu, Ariella membalikkan badannya dan memeluk Carlson.
Tangannya melingkar di pinggang Carlson yang padat berotot, kepalanya disandarkan ke dadanya, “Carlson, cepat cubit aku.”
Kedatangan ayah dan ibu Carlson hari ini terlalu mendadak, juga terlalu mendadak menerimanya. Semuanya berlangsung dengan tiba-tiba, tiba-tiba ia merasa semua yang terjadi hanyalah sebuah mimpi.
Carlson memeluknya, lalu mengusap kepalanya, “Semuanya ini benar-benar terjadi, kau tidak sedang bermimpi.”
“Tapi aku begitu takut kalau ini semua hanyalah mimpi.” Kata Ariella pelan.
Bagi dia bahagia tidak datang semudah itu, baginya keluarga yang hangat dan harmonis hanya bisa terwujud di dalam mimpi.
“Ariella!” kata Carlson sambil mendekap kepala Ariella, lalu dengan nada serius berkata, “Lupakan dan buang semua hal buruk yang terjadi di masa lalu. Ingat saja, kau punya aku.”
Carlson sangat mengerti apa yang ada dalam hati Ariella.
Semakin bahagia, Ariella semakin teringat akan hal buruk di masa lalunya.
Ia sangat takut kebahagiaan yang datang dengan tidak mudah ini akan berubah seketika.
“Hm, akan kulupakan.” Ariella mengangguk, lalu mengangkat kepalanya dari pelukan Carlson dan menariknya duduk, “Hari ini aku memilih beberapa barang, coba kau lihat, apakah kakek dan ibumu akan menyukai hadiah yang telah kusiapkan.”
“Asalkan kau yang menyiapkannya, mereka pasti akan suka.” Kata Carlson.
Ariella memutar bola matanya, lalu mengambil barang yang dibelinya dan membukanya satu persatu, “Ini adalah bordiran dua sisi, rencananya aku akan memberikannya pada ibu, bagaimana menurutmu?”
Carlson mengambilnya dan melihatnya, lalu mengangguk dan berkata, “Bagus.”
Lalu Ariella kembali mengambil lukisan yang hendak diberikannya pada kakek, “Ini yang kusiapkan untuk kakek, coba kau lihat lagi.”
Carlson melihatnya dengan seksama, lalu berkata, “Meskipun bukan hasil dari pelukis terkenal, tapi gaya lukisannya sangat bagus, kakek pasti akan menyukainya.”
Selesai mendengar pendapat Carlson, Ariella kembali tenggelam dalam pikirannya, setelah beberapa saat barulah ia berkata-kata, “Tapi aku tak tahu apa yang sebaiknya kuberikan pada papa dan Efa.”
Carlson bangkit berdiri lalu memeluk Ariella.
Ariella terkejut, lalu memukul dadanya, “Aku sedang berdiskusi denganmu, apa yang kau lakukan?”
“Menurutmu apa yang sedang kulakukan?” Sudut bibir Carlson menyungging, matanya tersenyum nakal.
“Aku…” Ariella kehabisan kata-kata. Tiba-tiba Carlson menggendongnya ke arah kamar. Apalagi yang dapat dipikirkannya?
“Mandilah dulu, selesai mandi, aku akan memberitahumu apa yang sebaiknya kau berikan ke papa dan Efa.” Kata Carlson.
“Serius ya.” Wajah Ariella yang bulat memerah. Sebenarnya Carlson tidak berniat melakukan apapun padanya, hanya dia saja yang berpikir terlalu jauh.
“Ya.” Angguk Carlson.
Ariella meliriknya, lalu berbalik dan menuju ke kamar mandi. Selesai mandi, Carlson duduk di sofa dan menepuk-nepuk tempat di sebelahnya sambil melihat Ariella.
Ariella berjalan ke tempatnya, lalu duduk di sampingnya, “Kau ingin memberitahuku?”
Carlson tidak mengatakan apa-apa, tiba-tiba tangannya terulur di depan kaki kiri Ariella.
Ariella awalnya ingin menghindar, namun karena gerakannya terlalu cepat, telapak tangannya yang besar mendarat di atas kaki Ariella.
Kaki kirinya yang kecil, ada segurat bekas luka yang panjang dari lutut hingga ke mata kakinya, mengotori kaki yang awalnya indah itu.
Dulu ketika memakai obat, ia telah meminta dokter untuk menggunakan obat luka terbaik, tapi hasilnya tidak bagus, bahkan tidak benar-benar menghilangkan bekas lukanya.
Telapak tangan Carlson mengelus bekas lukanya perlahan, jemarinya yang tebal seperti mengandung listrik, membuat sekujur tubuh Ariella merinding.