Carlson memegang kepala Ariella, melihatnya sampai membuatnya malu dan menutup mata, wajahnya juga memerah, seolah-olah menunggu Carlson melakukannya.
Carlson pun tidak bisa menahan tawanya, menempelkan bibirnya ke bibir Ariella, dengan lembut menciumnya, merasakan rasa istimewa yang hanya dimiliki olehnya.
Satu ciuman, begitu lembut dan membuat orang mabuk…
Setelah begitu lama Carlson baru melepaskan Ariella, dan tidak bisa menahan untuk menjilati bibirnya, lalu memanggil namanya, “Ariella—”
“En?”
“Berjanjilah padaku, jangan pedulikan apapun, semuanya serahkan saja padaku.”
Apakah Carlson adalah cacing di perutnya?
Saat Ariella ingin melakukan sesuatu sendiri, Carlson pasti akan segera menyuruhnya untuk jangan memperdulikan apapun.
Tapi semua itu ada hubungannya dengan kehidupannya, dia pernah mengalami hal yang begitu menyakitkan, bukan bisa dilupakan begitu saja.
Carlson berkata: “Jika kamu ingin ikut di dalamnya, katakanlah, kita bahas sama-sama, kita lakukan hal yang ingin kamu lakukan sama-sama yah?”
Ariella: “Carlson….”
Carlson berkata: “Ariella?”
Suaranya yang rendah begitu menggoda, masih sama seperti dulu begitu enak di dengar, tapi juga terasa tidak tega dan serba salah, Ariella pun merasa tidak tega, bersandar di pelukannya dan menganggukkan kepala.
Yang Carlson katakan bukan tidak masuk akal.
Dia sendiri sama sekali tidak ada kekuatan, jika dia bersikeran melawan kakek Tanjaya, akhirnya dia sendiri yang akan dirugikan.
Jika dia terluka, Carlson akan tidak tega.
Dia tidak ingin membuat Carlson tidak tega.
Ariella berkata: “Aku berjanji padamu, tidak peduli apa yang ingin aku lakukan, aku pasti akan mengatakannya padamu, pasti tidak akan memutuskannya sendiri.”
“Tidak boleh membohongiku.”
“Tidak akan.”
“Kalau begitu ayo pergi makan.”
“En, baik.”
Di atas meja makan, Carlson yang dulunya saat makan tidak akan berbicara pun sudah berubah.
Dia mengangkat semangkuk soup dan mencobanya, lalu mengganggukkan kepala dengan kuat, “Sudah begitu lama aku tidak meminum soup buatanmu, rasanya semakin enak.”
“Lain kali aku akan membuat soup untukmu setiap hari.”
“Baiklah.”
Ariella pun mengambil sayur untuk Carlson, mengedipkan mata bertanya, “Dengar-dengar kamu sangat takut kotor, apakah kamu akan memakan sayur yang aku ambil untukmu?”
Carlson dengan seriys bertanya: “Aku bahkan sudah memakan air liurmu, ada apa dengan makanan yang kamu jepitkan.”
“Kamu….”
Pria ini, kenapa menjadi begitu jahat? Kenapa menjadi begitu mengelikan? Carlson dulu yang begitu dingin itu sudah pergi kemana?”
“Aku juga adalah ayah dari seorang anak, aku sudah berpengalaman dalam banyak hal.”
Tidak tahu apakah dia sudah menyadari apa yang dipikirkan Ariella, Carlson pun menambahkan, membuat wajah Ariella menjadi merah.
Pria ini, apakah yang harus dia katakan?
Satu kata jahat, dua kata sangat jahat, tiga kata sangat-sangat jahat!
Ariella melihatnya sejenak lalu menyodorkan tangan mencubitnya, namun Carlson langsung menahannya, memegang tangannya dengan erat.
“Ariella—” suaranya sedikit serak, tatapannya begitu hangat, seolah-olah dia adalah mangsa dimatanya.
“Carlson, makan dulu.” Melihat saja sudah tahu pemikiran pria ini, sekarang masih sedang makan, Carlson sudah mulai berpikiran yang tidak-tidak.
Tapi memikirkan terakhir kali dia mengatakan sudah menahan selama 3 tahun, Ariella juga sangat tidak tega.
Dalam 3 tahun lebih, terhadap seorang pria harus menggunakan berapa banyak kesabaran untuk menahannya.
Setelah Ariella berkata, Carlson pun langsung menggendongnya, dia menggendongnya ke kamar mandi, sambil berjalan sambil berkata: “Nanti saat istirahat baru makan.”
“Carlson, apa yang ingin kamu lakukan?”
“Kamu tidak tahu apa yang ingin aku lakukan?”
Sayangnya, Ariella adalah “Makanan enak” yang diinginkan Carlson.
Ariella merasa, dimata Carlson dia adalah dessert yang enak dan juga cantik.
Carlson tidak langsung memakan dessert sampai habis, tapi menikmati cantiknya dulu, lalu mencium aromanya, akhirnya memakannya.
Ariella bahkan memiliki keinginan untuk memukul orang, pria ini penampilan luarnya benar-benar berbeda dengan dalamnya, padahal dari luar adalah direktur yang sombong dan dingin, tapi begitu melepaskan baju dia benar-benar seperti hewan liar.
Ariella tidak berkata lagi, tidak ingin menggatakannya lagi, padahal dia mengatakan setelah sekali akan melepaskannya pergi makan, akhirnya Ariella tetap dianggap sebagai dessert dan dimakannya 2 kali.
“Ariella—”
Ariella tidak menyahutnya, benar-benar tidak menyahutnya.
“Kamu menyuruhku menemanimu ke sini, emangnya bukan karena ingin lebih bebas untuk kita….”
Ariella menyodorkan tangan menutup mulut Carlson, dengan marah melototinya: “Tuan Carlson, apakah belakanga ini otakmu masuk ulat?”
Carlson terdiam, lalu mengangukkan kepala, “Saat melihatmu, sepertinya sama seperti yang kamu katakan.”
Ariella: “…..”
Dia sudah memutuskan, dia tidak akan mengatakan pada pria ini kalau ingatannya sudah kembali, kalau tidak dia pasti akan menyiksanya.
“Jangan asal bicara, sudah lelah, tidur sebentar dulu, agak malam baru makan.” Carlson pun memeluk Ariella, satu tangan memegang luka di perutnya.
Tangan Carlson berada di luka perutnya, sedikit geli, Ariella pun mengecilkan lehernya: “Luka itu begitu jelek, apakah kamu tidak akan merasa geli?”
“Bodoh, aku mana mungkin merasa geli.” Dia hanya akan merasa tidak tega.
Setiap melihat luka yang lebih panjang hampir setengah dari wanita yang sudah melahirkan lainnya ini, setiap kali melihatnya dia juga akan merasa tidak tega, memikirkan sekali membuatnya merasa tidak tega sekali.
“Dulu aku merasa sangat jelek, tapi saat aku tahu aku meninggalkan bekas ini karena Riella kecil, aku tidak merasa begitu jelek lagi.” Ariella bersandar di pelukan Carlson, dengan bangga berkata.
Awalnya mengira dirinya tidak ada pasangan, di dalam ingatannya juga tidak pernah berpacaran sekalipun, dia tidak bisa merasakan bagaimana perasaan menjadi seorang ibu.
Tapi saat pertama kali melihat Riella kecil, dia pun langsung menyukainya, kalau bisa dia ingin membawa Riella kecil pulang dan menjaganya sendiri.
Saat mengetahui Riella kecil adalah anaknya, saat itu dia sama sekali tidak terkejut, dia hanya merasa senang, seolah-olah mimpinya menjadi kenyataan.
Carlson tidak menyahut, hanya memeluka Ariella semakin erat, lalu Ariella berkata lagi: “3 tahun lalu, aku merasa aku adalah mayat hidup, kehidupanku sama sekali tidak ada perasaan apapun. Saat bekerja, aku selalu memfokuskan seluruh diriku ke dalam design.”
Ariella selalu mengira kehidupan seperti itu tidak ada masalah, seolah-olah dia sudah melihat dunia yang paling mewah, sudah melihat musim semi gugur dingin dan musim panas, mengira dirinya tertarik dengan design, di dalam kehidupan ini dia adalah orang yang tidak mengharapkan apapun lagi.
Tapi sebenarnya bukan, hanya saja dia secara reflesk sangat berjaga pada Zeesha, walaupun saat itu salah satu keluarga yang dia ketahui hanyalah dia, tapi jika Ariella ada masalah, dia tidak bersedia mengatakannya pada Zeesha.
Semua yang dia rasakan, dia terbiasa untuk menelannya sendiri dan tidak pernah sekalipun mengatakannya pada Zeesha.
Dan setelah bertemu dengan Carlson, semua masalahnya, tidak perlu dia mengatakannya, Carlson bahkan lebih jelas dari pada dirinya.
Ariella mengatakan perasaannya selama 3 tahun ini, Carlson pun terus memeluknya dan mendengarnya.