Walaupun bulan pertama udah mau berakhir, cuaca Kyoto masih tetap dingin.
Beberapa hari ini Elisa tidak pernah keluar rumah, setiap hari di rumah saja, namun dia tetap berdandan dengan cantik.
Dia adalah seorang wanita yang selalu peduli dengan kecantikan.
Meskipun wajahnya sudah cacat, namun dia tidak menyerah, karena dandan yang cantik adalah tetap hal yang penting.
Dia membalikkan badannya, sehingga tidak melihat wajahnya yang penuh bekas luka, hanya melihat bayangannya, masih merasakan dia adalah wanita yang cantik.
Pinggang yang ramping dan rambut keriting keemas an yang badai
Mengambilkannya sup dan meminumnya beberapa suap besar, Ivander hanya melihat punggungnya Elisa
Hari ini Elisa mengenakan jaket besar berwarna merah merona, mirip dengan warna darah membuat beberapa orang terkejut melihatnya.
Menatapnya untuk beberapa saat, Ivander masih tidak berhenti menatapnya, sesuai akal Elisa seharusnya tidak akan menuruti dia lagi seperti dulu.
Jangan-jangan—
Terpikir sampai di sini, Ivander berhenti menatapnya dan melihat sup yang sudah dihabiskan setengah olehnya.
Karena beberapa hari ini tidak makan dengan baik, jadi dia meminum sup dengan cepat, bahkan tidak sadar kalau rasa supnya tidak sama.
Pada saat memikirkannya, di dalam sup seperti ada rasa obat, yang pasti bukan rasa untuk sup biasanya, namun merupakan suatu rasa obat yang kurang jelas.
“Sial!” dia memarahinya dan melempar mangkok tersebut ke arah Elisa, dengan marah mengatakan, “Kamu tambah apa di sup ini?”
Mangkok terlempar di punggung Elisa, terdengar suara pecahan, sup yang panas sekejap meninggalkan jejak berminyak di jaket merahnya.
Sup mengalir turun dari jaketnya, di da, di da.
Elisa tidak menghadap balik, bahkan punggungnya sangat tegak, kaku seolah patung.
Melihat tidak ada reaksi dari dia, Ivander semakin marah, diambilkan sendok di atas meja, dan dilemparkan lagi ke arah Elisa: “Kamu sudah mati? Hadap balik sini!”
Kali ini sendok yang dilemparkan tidak kena Elisa, melainkan hanya melewati samping telinganya, suara ding dang terdengar, sendok jatuh di sebelah kakinya.
Tangan Elisa mengepal di pinggangnya semakin kencang, sangking kencangnya seolah-olah kukunya menusuk ke dalam tubuhnya.
Dia menggigit bibirnya, membalikkan badannya secara perlahan, dan pelan-pelan menaikkan bibirnya, seperti memaksakan dirinya untuk tetap tenang, “Tuan besar Ivander, aku dengan baik hati kasih kamu minum sup untuk anjing, kamu tidak tahu terima kasih sudah cukup, kamu masih lempar mangkok dan sup ke aku, coba jelaskan aku harus gimana lebih baik?”
Dia mengatakannya dengan tajam, namun matanya tetap berkedip. Berusaha tetap tersenyum dan melepaskan bekas lukanya, terlihat sangat menjijikan.
Melihat bekas lukanya, serta mendengar gaya bicara Elisa, Ivander tiba-tiba merasa jijik.
Ivander melihat kembali sup di depan mata yang ada di dalam mangkok yang pasti ada sesuatu. Namun, dia tidak tahu Elisa manusia sialan ini menambahkan apa di dalamnya.
Dia bangkit berdiri, dan merasa kepalanya mati rasa, namun dia tidak sempat berpikir banyak, dia termakan oleh amarahnya. Dia sekali melangkah menuju Elisa, dan menjambak rambutnya: “Kau manusia sialan ini ingin membunuh aku! Tidak semudah itu!” selesai bicara, dia membanting kepala Elisa ke meja, “Aku bunuh kau manusia jahanam hari ini.”
Respon Elisa sudah terlambat, tenaganya juga kalah ribuan kali lipat dengan Ivander, tiba-tiba terdengar suara meledak di telinganya.
Betul, beberapa hari ini di rumah, Elisa tidak membuat apa-apa, setiap hari hanya memikirkan bagaimana caranya membunuh Ivander manusia ini.
Elisa ingin membunuh dia, dan ingin mengambil semua miliknya, ingin dia membayar kembali segalanya yang dia lakukan
Awalnya, dia bingung bagaimana caranya mendekati Ivander, namun tidak disangka, bajingan ini malah datang sendiri. Elisa dengan senang hati mempersiapkan sup ayam untuk bajingan ini, kemudian menambahkan obat tidur di dalam sup ayam ini.
Segalanya begitu mulus, dia langsung segera beraksi.
Namun malah ketahuan oleh Ivander.
Sekarang orang yang seharusnya mati sedang memukul dan menendangnya, namun Elisa hanya bisa berteriak.
Lagi dan lagi.
Setiap pukulan menyakitinya sampai ke paru-paru.
“Matilah kau!” Ivander berteriak, kepikiran bahwa manusia jahanam ini ingin meracuni dia, dia tidak lagi bisa mengontrol emosinya. Dia sambil memarahinya “jahanam”, “pelacur”, dan juga sambil menendang, menginjak, dan memukuli dia, seolah-olah ingin memukulnya sampai menjadi abu.
Tidak tahu sudah menendangnya berapa lama, sampai Elisa sudah tidak ada tenaga untuk berteriak lagi, Ivander baru berhenti menendangnya.
Dia merasa puas melihat Elisa bagaikan boneka rusah jatuh di lantai, dengan senang hati dia tertawa, kemudian menempelkan air ludah pada bekas luka di wajahnya: “manusia jahanam!”
Dia kembali duduk di kursi setelah mengatakannya.
Pukulan yang kejam ini menghabiskan tidak sedikit tenaganya, dan juga sup dengan obat tidur yang diminum secara perlahan menimbulkan efeknya, pada momen ini, dia merasa kepalanya sangat pusing, tidak tahan untuk beristirahat sebentar.
Namun, dia belum duduk dengan baik, sudah merasa seakan-akan di sebelahnya ada bayangan orang yang sedang berdiri, dia meluncurkan tangannya untuk memegang bayangan tersebut.
Akan tetapi, obat tidur mulai berfungsi, reaksinya dalam sekejap menurun sangat banyak, tangannya melayang di udara. Dia melihat tempat dimana Elisa jatuh berbaring tadi, sekarang menjadi kosong, hanya tersisa sedikit darah.
Ivander kaget dan berteriak ini tidak baik, sibuk mencari Elisa di sekitar, namun belum ketemu, ada sebuah benda berat yang terlempar di kepalanya.
Rasa sakit yang parah, Ivander langsung jatuh ke lantai.
Dia sangat marah, takut, dan teriak—dia melihat Elisa membawa palu, langsung melihat dirinya sudah tidak bisa apa-apa lagi.
Elisa tertawa, senyumannya sangat lebar hingga mencapai bekas lukanya, sangat mengerikan. Namun senyuman tersebut datang dari hati, semasa, Ivander melihat bayangan Elisa waktu kecil dari bola matanya.
Elisa pada saat itu, cantik dan polos, mengikuti di belakangnya dan dengan lembut bertanya: “Kakak Ivander, Elisa cantik tidak?”
Cantik—Dia ingin menjawabnya demikian, namun sekali kocok mata, wajah yang imut berubah menjadi bekas luka yang panjang dan dalam.
Dia meluncurkan tangannya.
Tiba-tiba, Ivander merasa rasa ketakutan yang tidak pernah ada sebelumnya.
Dia ingin berteriak dan kabur, namun obat tidur membuat gerakannya menjadi lambat, rasa sakit dari kepala menahan tenggorokannya.
Elisa selangkah demi selangkah mendekati Ivander, melihat pria yang pernah diinginkan olehnya menggeliat seperti seekor cacing sekarat, hatinya merasa gembira.
Sangat tidak enak dipandang, sama dengan Elisa yang tidak enak dipandang.
Elisa tertawa dan bergegas mendekatinya, duduk di atas tubuh Ivander—seperti dulu dia duduk di atas tubuhnya.
“aku tidak akan mati.” Dengan senyuman yang lebar dia mengatakannya, “Yang harus mati itu kamu!”
Setelah selesai mengatakannya, dia mengangkat palu di tangannya, dengan kencang memukul kepala Ivander.
“Elisa, jangan!”
Ivander meminta ampun kepada Elisa, namun tidak memberhentikan palu yang sedang mengetuk kepalanya.
Lagi dan lagi.