Mendengar suara air mengalir dari kamar mandi, Ariella mengalihkan matanya yang besar dan indah, sedangkan pikirannya mulai melayang-layang.
Serendah-rendahnya EQ Carlson, dia pasti tetap memiliki pengetahuan dasar, pasti dia tahu kalau ingin mempunyai anak yang harus dilakukan terlebih dulu adalah giat “menanam benih”.
Tidak! Tidak!
Ariella teringat ketika bayangan Carlson yang baru masuk ke kamar mandi bergetar, dia pasti sedang berusaha keras menahan diri agar tidak tertawa.
Sialan!
Ternyata dia sengaja mempermainkannya.
Memikirkan hal itu, Ariella mendelik ke arah pintu kamar mandi dengan emosi.
Kalau sorot mata bisa membunuh orang, saat ini sorot matanya pasti telah menembus pintu kamar mandi itu dan menghujam Carlson yang sedang mandi.
Ariella terus menatap lurus pintu kamar mandi, menatapnya hingga matanya terasa sakit, barulah Carlson keluar dari kamar mandi.
Dia hanya berlilitkan handuk mandi, menutupi bagian tubuh yang terpenting, lalu dengan langkah yang elegan dan pasti berjalan ke arahnya.
Melihatnya yang berjalan semakin mendekat, tanpa sadar Ariella menahan napas, tapi terdengar suara Carlson yang menyimpan tawa berkata, “Apa lagi yang kau pikirkan?”
“Bukannya kau bilang ingin punya seorang bayi?” Kalau memang ia suka menampilkan aura yang dingin, kalau begitu biar dia yang sedikit berinisiatif.
Kalau tidak darimana bayi itu bisa muncul?
Carlson berbaring di sebelahnya, Ariella berguling ke pelukannya, mengulurkan tangan dan memeluknya erat.
Sebenarnya, ia bukan wanita yang terlalu mudah dalam hal ini, setiap kali ia ingin berinisiatif melumpuhkan Carlson, ia pasti mempersiapkan hatinya sekian lama terlebih dulu.
Seperti saat ini, meskipun ia telah memeluk erat Carlson, tapi kedua tangannya masih tetap gemetar, wajahnya masih merah bak terkena darah, ia sama sekali tak berani melihat Carlson.
“Ariella, jangan memaksa dirimu melakukan hal yang takut kau lakukan.” Dia memegang dagunya, membuatnya mengangkat kepalanya, kemudian berkata, “Masalah anak lebih baik alamiah saja, jangan memaksa.”
Tapi kalau Carlson tidak bersetubuh dengannya, dari mana anak itu datang?
Ariella kembali menundukan kepala, hatinya tengah berpikir.
Carlson kembali berkata, “Ulurkan tanganmu.”
“Apa?” Belum sempat Ariella mengerti apa yang terjadi, Carlson sudah menggenggam tangan kanannya.
Melihat tangannya yang putih dan lentik, Carlson menekannya pelan, lalu seperti sulap di tangannya tiba-tiba muncul sebuah kotak cincin.
Ia membuka kotak itu, sepasang cincin berlian bersinar di depan mata mereka.
Carlson mengambil cincin wanita, tanpa basa basi ia memasukkan cincin itu ke jari manis tangan kanannya, lalu dengan tatapan mata yang demikian lembut menatapnya lekat, “Suka?”
Ariella menyentuh cincin yang baru saja dipakaikannya, lalu mengangguk dengan kuat, “Suka!”
Kemudian dia berinisiatif mengambil cincin pria di kotak cincin itu, menggenggam tangan kiri Carlson dan memakaikan cincin itu padanya, tapi kemudian ia melihat cincin mutiara yang diberikan ibunya masih berada di jari manis tangan kirinya, cincin mutiara yang telah lama, yang terlihat kurang cocok berada di tangannya, tapi Carlson sama sekali tidak membencinya.
Ariella menatapnya, sedikit kebingungan, di mana harus ia pasangkan cincin yang baru?
Ketika ia sedang kebingungan, ia mendengar Carlson berkata, “Bagaimana kalau cincin dari ibu ini dipakai di jari tengah?”
Sedikit sekali pria yang seperti Carlson, mau memakai 2 cincin berkilauan di satu tangan. Kalau ia bekerja dan bertemu orang, apa orang lain tidak akan menertawakannya?
Carlson menggenggam tangan Ariella, memintanya memindahkan cincin mutiara dari ibu ke jari tengah, lalu memasangkan cincin yang baru itu di jari manisnya.
“Okay, bisa juga begitu.”
Carlson tidak memberitahunya, kedua cincin berlian ini dipesan khusus, di cincin wanita terukir sebuah huruf ‘Carlson’ yang kecil, sedangkan di cincinnya tentu saja terukir huruf ‘Ariella’.
Dia tidak tahu bersikap romantis, baginya yang seperti ini adalah hal paling romantis yang dapat ia pikirkan.
Ariella tertawa melihatnya, “Pak Carlson, apa kau sedang melamarku secara resmi?”
“Tidak.” Carlson menjawabnya dengan serius, “Kau sudah menjadi istriku. Aku hanya menambahkan kunci untuk mengikatmu, memberitahu pria lain, kau sudah ada pemiliknya.”
Meskipun ia bilang ia mengikatnya dan memberitahu pria lain bahwa ia sudah ada pemiliknya, di satu sisi itu juga memberitahu wanita lain bahwa ia juga sudah ada pemiliknya, jangan sampai wanita lain mencari perhatian darinya.
Memikirkan hal ini, hati Ariella sangat tersentuh, tanpa sadar ia bergeser ke atas berbaring sama tinggi dengannya, ia menarik napas perlahan, berusaha keras menekan rasa malunya dan mencium Carlson tepat di bibir.
Bibir Carlson yang tipis dan seksi itu sedikit dingin, membuatnya menarik napas kuat. Belajar dari caranya mencium waktu itu, ia kembali memberikan serangan.
Tangan Carlson terulur dan memegang pinggangnya, menekannya erat ke tubuhnya. Bergantian saling aktif, ciuman yang panas mulai mengalir.
“Uh…” Ketika Carlson dan dirinya telah begitu melekat, Ariella mengeluarkan lenguhan yang menggelitik.
Lelaki ini, biasanya selalu bersikap dingin, tapi ketika melakukan hal seperti ini, ia berubah menjadi seperti hewan liar yang kelaparan, melumat habis bibir dan lidahnya.
Ketika baru dimulai, Ariella masih dapat berusaha keras tidak pasrah padanya, tapi kemudian, pikirannya terasa kosong, seperti tong yang kosong…
Ia melihat awan putih, melihat pelangi sehabis hujan, melihat Carlson dengan ketampanannya yang menawan sedang tersenyum kecil padanya.
Setelah itu, Ariella tak tahu apa yang terjadi, ia memejamkan matanya dan tertidur. Semalaman ia tertidur tanpa bermimpi, sampai akhirnya terbangun dan melihat Carlson yang telah berpakaian rapi sedang duduk di pinggir jendela sambil membaca Koran.
Hari ini Carlson masih duduk di sana seperti biasa, hanya rahang bawahnya sedikit terangkat, sudut bibirnya sedikit menyungging, dalam matanya mengandung senyum yang lembut.
“Sudah bangun.” Dia masih saja menoleh menatapnya begitu ia terbangun, dan bertanya dengan tenang.
“Ya.” Ariella menggerak-gerakkan badannya, badannya sedikit tidak enak, bahkan ia masih dapat merasakan dalam tubuhnya masih terdapat barang yang ditinggalkan olehnya.
Ariella segera berbaring lagi dan tidak berani bergerak, wajahnya yang bulat itu merah padam, seperti buah peach matang.
Carlson meletakkan Koran di tangannya, berjalan ke sisinya, mengulurkan tangannya dan mengusap rambutnya yang panjang dan halus, “Kalau kau capek istirahat saja sebentar lagi, biar aku minta Bu Vita membawakan sarapan ke kamar.”
“Tidak.” Ariella menolak, ia berkeras untuk duduk, lalu buru-buru ke kamar mandi untuk menyegarkan diri, “Tunggu aku, kita sama-sama ke bawah.”
Ini hari kedua bertemu keluarga Carlson, kalau dia tidur sampai siang hingga meminta orang membawakan sarapan untuknya ke kamar, bagaimana kesan keluarga Carlson melihat hal ini.
Keluarga Carlson sangat menjunjung tinggi sopan santun, Ariella juga ingin berusaha menjadi seorang menantu yang sepadan.
Melihat dirinya yang sempoyongan, mau tak mau Carlson memandangnya dengan tersenyum nan lembut, tanpa sadar ia menjilat bibirnya. Di bibirnya masih tersisa rasa Ariella.
Namun dengan sedikit kecewa ia menggelengkan kepala, setelah kemarin malam, Ariella yang berinisiatif menggodanya itu sekarang tak tampak lagi.