Darwin menahan kedua kaki Efa hanya dengan satu kakinya, dengan tidak bersahabatnya, “Aku sudah mengantuk, mau tidur.”
“Apakah kau babi?” Dari pagi hingga malam hanya memikirkan tidur, setelah datang ke kamarnya, apakah benar hanya datang untuk tidur? Tanpa pemikiran lain?
“Kalau aku babi, lalu kau apa?” Darwin memeluknya, merabanya dengan kuat, kemampuan tangannya sungguh hebat.
Tubuhnya lembut kenyal, terlebih bagian khusus wanita miliknya, dahulu Darwin tidak menyadari Efa begitu makmur.
Darwin sungguh resah, dulu Efa tanpa sehelai baju di hadapannya, ia tidak berlama-lama menatapnya, melihat lebih jelas.
Tidak berani melihat, khawatir dirinya tidak mampu menahan diri, melahap Efa tanpa peduli apapun.
Kini, ia tidak memiliki keresahan itu lagi, kesenjangan di antara mereka sudah terpenuhi oleh kemampuan mengalihkan gadis kecil ini.
“Kau adalah babi, maka aku adalah tukang dagingnya,” ucap Efa, “Lain kali kalau kau melawan, aku akan menyembelih, menguliti, lalu merebusmu.”
Darwin memeluk Efa, merabanya tidak karuan, “Kalau aku babi, maka kau adalah wanita seekor babi.”
Efa mengayunkan tangannya menonjok Darwin tepat di tubuhnya, “Pergi!”
“Sakitkah?” Darwin meraih kepalan Efa, mengelus perlahan luka sayat yang berbekas di tubuhnya, nada bicaranya menjadi jauh lebih lembut.
Meski dokter sudah memberikan Efa obat terbaik untuk menghilangkan bekas, tapi masih ada belasan luka sayat yang berbekas di tubuhnya.
Lukannya baru saja membaik, sayatannya masih nyata dan merah, tidak begitu nyata namun tetap mengganggu.
Gadis kecil ini begitu menjaga penampilannya, dulu jika ada satu bekas jerawat di wajahnya, mampu membuatnya marah hingga tidak menggubris siapa pun selama setengah hari.
Sebaliknya, kali ini sungguh mengejutkan, malahan ia tidak pernah membahas soal lukanya, seperti tidak peduli sama sekali.
Hari itu ia memberitahu Carlson agar mereka tidak membahas masalah sosok yang menculiknya.
Tidak membahas sama sekali, tidak mengijinkan mereka menuntut sang penculik, sama sekali bukan seperti sifat Efa seharusnya.
Hari itu, ketika Darwin tiba di ruang bawah tanah, Efa terengah dalam genangan darah, seakan-akan mampu menghembuskan nafas terakhirnya sewaktu-waktu.
Mengingat kembali kejadian hari itu, Darwin mau tidak mau menghela nafasnya, keinginan untuk membunuh pun ada.
Setiap mengingat itu, Darwin ingin memotong sang penculik menjadi beberapa bagian, bagaimana seorang Efa dengan karakter yang begitu kuat mampu menghadapi dengan tenang setelahnya?
Mungkin Efa sudah berubah menjadi dewasa, menjadi logis setelah kejadian Sandoro, tahu bahwa ada kalanya harus mengalah.
Meski mengalah, tetapi tidak boleh mengijinkan sesuatu seperti ini terjadi.
“Beritahu aku, sakit tidak?” sakit bukan main bagi Efa.
Pria ini sungguh kasar, tangannya begitu besar, gerak tubuhnya kasar, tidak ada ampun bagi Efa yang baru pertama kali, begitu saja dimasukkan dengan kasar, Efa ingin sekali menggigitnya waktu itu.
Untung saja, seiring berjalannya waktu, sakit ini tidak bertahan lama, kenikmatan dirasakannya lebih dalam daripada rasa sakit.
Efa menjawab yang tidak perlu dipertanyakan.
Pastilah, mana mungkin tidak sakit!
Sekujur tubuhnya dipenuhi luka sayat yang hampir saja merenggut nyawanya, bagaimana mungkin tidak menyakitkan, hanya saja gadis ini tidak pernah mengungkapkannya sekalipun setelah tersadar di rumah sakit.
Ketika dokter memberinya obat, ia begitu kesakitan hingga pucat, menggertakan giginya kencang-kencang, tersenyum sambil berkata bahwa ini hanyalah masalah sepele.
“Kalau tahu sakit, kenapa tidak berteriak?” Darwin tidak tahu bagaimana harus mengungkapkannya dengan cara yang lebih baik, baginya ini sudah cukup lembut untuk diucapkan.
“Ya Tuhan!” Efa memelototinya dengan sangar, bisa-bisanya Darwin memikirkannya berteriak atau tidak, teriakannya bisa saja terdengar oleh siapapun yang ada di balik pintu ini.
Keesokan harinya ketika mereka meninggalkan kamar ini, mereka akan menatap Efa dengan tatapan yang ambigu, pasti mereka semua sudah mendengarnya.
Memikirkan mereka mendengar hal memalukan ini, Efa hanya mampu menyalahkan pelakunya, mengangkat tangannya dan mencubit dada Darwin dengan keras.
Brengsek, menyebalkan, berani-beraninya memprotes teriakan Efa yang kurang keras.
Darwin: “Lain kali janganlah terlalu lugu, anak yang suka menangislah yang bisa mendapatkan permennnya, kau pasti mengerti artinya.”
“Darwin, apakah kau ingin berkelahi?” Efa menundukkan kepalanya, membuka mulutnya lalu mengigit bahu Darwin, sekeras-kerasnya.
Digigit olehnya, Darwin tidak melawan sama sekali, malahan mengelus lembut kepala Efa seperti mengelus binatang peliharaannya, Efa melewati begitu banyak kepahitan, Darwin membiarkannya meluapkan emosi.
Darwin tidak melawan, Efa menggigitnya hingga tidak bertenaga lagi, melepaskan gigitannya perlahan, tidak puas, “Brengsek!”
Darwin tertawa ringan, “Kau tidak bisa tidur kan?”
“Sungguh gila kalau aku bisa tertidur.” Seorang pria dewasa terpampang dihadapannya, hanya mengenangkan sehelai boxer, seluruh gen di sekujur tubuh Efa sudah terangsang, bagaimana mungkin bisa tertidur.
Darwin membalikkan badannya dan menindih Efa, “Tidak bisa tidur, bagaimana jika kita melakukannya lagi?”
“Sekali lagi, gila.” Meski bibir berkata tidak, sekali lagi terlihat dari bahasa tubuh Efa.
Efa menggeser Darwin dengan sekuat tenaga, membalikkan badannya dan menunggangi Darwin tepat di atas badan, berkata bagai seorang ratu, “Darwin, kali ini aku yang mengatur.”
“Baiklah,” Darwin menyanggupinya dengan cepat, dalam dunianya, tidak ada sebutan lelaki dominan, jadi ia tidak menutup kemungkinan Efa berada di atasnya.
“Ya Tuhan–” ternyata ia tidak tahu bagaimana memulainya.
Darwin: “Dengarkan perintahku, ikuti aku.”
Efa: “Siap, kapten Darwin!”
Malam mereka baru saja dimulai, mereka menuliskan lembaran awal ini dengan cara yang paling nyata.
Mereka saling berciuman, bersentuhan, bagaikan api bintang yang menabrak bumi, mengelilingi galaksi dalam waktu yang panjang, dengan semua energi yang membara di dalam diri, dengan segalanya, hanya untuk saat ini saja mereka ingin meluapkan semuanya.
Keduanya sama-sama menggunakan segenap tenaganya, sungguh tidak masuk akal, begitu kasar tanpa kelembutan sama sekali????hanya karena mereka sudah saling menunggu terlalu lama.
Terlalu lama hingga tidak ingin menghadapinya dengan kelembutan, hanya ingin melakukannya dengan cara yang paling brutal, keduanya paham, ternyata keduanya begitu menyukai satu sama lain, dengan segenap hidupnya!
Darwin, dia pasti mendengarnya, mendengar isi hati terdalam Efa.
Jika itu dia, Efa rela menyerahkan segalanya, menemaninya melakukan segala sesuatu yang tidak mungkin di dunia ini.
Mengejar Darwin bertahun-tahun, menunggunya selama bertahun-tahun, kala itu ketika ia hampir menyerah, tiba-tiba Darwin muncul di hadapannya.
Saat itu, Efa begitu yakin lebih dari apa pun, tidak ada satu hal pun yang mampu menghalangi keteguhan hatinya pada Darwin.
Di tengah malam, hujan mulai turun.
Angin dingin menerobos masuk dari celah jendela, membiarkan suhu kamar yang terus meninggi berhenti seketika pada saat itu.