Efa akhirnya bangun lagi, tapi kali ini tidak sepenuhnya bangun sadar, dan matanya kabur, tidak ada yang bisa dilihat jelas.
Hanya bisa terdengar suara-suara tetesan air, setetes demi setetes, terdengar berirama, seperti suara jarum jam.
Efa merasa hidupnya sama seperti suara air yang menetes itu, pelan-pelan menghilang, setetes demi setetes, sisa waktu hidupnya berkurang detik demi detik.
Dia sangat haus, sangat ingin minum air, tapi dia sudah tidak mampu bergerak, mata pun sudah tidak bisa dibuka, dan tidak lagi kuat untuk berbicara, hanya bisa menggerakkan sedikit lidahnya.
“Kenapa? Mau pura-pura mati? Kamu kira aku tidak bersuara jadi akan melepaskanmu?”
Suara penculik yang kejam itu mendengung di kepalanya, tapi dia sudah tidak ada tenaga berdebat dengan penculik itu.
Begini, jadi begini, mau hidup ataupun mati, dia sudah menyerah, tidak ingin menahan diri lagi, dia sudah tidak ada tenaga untuk bertahan lagi.
Dia bisa merasakan darah di tubuhnya pelan-pelan terkuras, sedikit demi sedikit, dan nyawanya bergantung pada darah yang pelan-pelan menghilang. Saat dia memegangnya, di genggaman tangannya hanya terasa darah yang hangat dan juga dingin.
Kesadarannya mulai kabur, dia ingin seperti ini jatuh tertidur, dengan begini dia tidak akan merasakan kesakitan, tidak akan merasakan keputusasaan dengan nyawa yang memudar. Tetapi ketika dia baru mau jatuh tertidur penculik yang keji itu, mungkin karena tidak terima dengan suasana yang hening, ia pun menginjak perutnya Efa lagi.
Efa sudah sangat lemah sampai-sampai tidak ada tenaga untuk menjerit. Dia tidak bisa melakukan apapun, dia hanya bisa menahan rasa sakit itu, sedikit tenaga untuk melawan pun tidak ada.
“Aku tidak akan membiarkanmu mati!” kata penculik yang kejam itu. Ancaman itu sudah sering dilontarkannya, Efa saat itu sudah mati rasa.
“Kamu biarkan aku mati saja. Tolong. Biarkan aku mati dengan cepat, jangan menyiksaku seperti ini.” Efa sangat ingin mengatakan ini, tetapi apa daya, dia sudah tidak ada tenaga untuk berbicara.
Penculik itu masih memegang pisau, dia masih bisa membunuh Efa dengan cepat. Tapi sekarang dia ingin minta untuk dibunuh pun tidak bisa, minta untuk dilepaskan pun tidak bisa. Sekarang kondisi tubuhnya sudah sangat tidak mendukung lagi.
Dia baru membuka mulut, tenggorokannya sudah sakit sekali?? Dia benar-benar tidak tahu masih bisa bertahan berapa lama.
Bisa jadi satu jam, mungkin 10 menit, mungkin sedikit lebih lama, mungkin sedikit lebih cepat??
Singkatnya, Efa merasa sisa hidupnya kapanpun bisa menghilang, dia akan menghilang dari dunia ini, tidak akan bisa melihat orang-orang yang dia cintai lagi.
Orang-orang yang dia cintai, sungguh terlalu banyak?? Dia ingin kembali ke pelukan ayah ibunya, masih ingin mencubit wajah kecil Riella, masih ingin menjahili kakak kayu itu, masih ingin bertanya ke kakak iparnya bagaimana cara dia mengejar cintanya Darwin?
Darwin.
Saat terpikirkan nama ini, kesadaran dia yang kabur itu mulai kembali jernih untuk sesaat. Tapi saat itu juga, dia juga sadar bahwa mungkin dia tidak akan melihat Darwin lagi untuk selamanya.
Hanya berpikir seperti ini saja, muncul rasa sakit yang sangat tajam di perasaannya. Sakit jantung, ataupun rasa sakit yang ada di tubuhnya sekarang tidak ada apa-apanya dibandingkan rasa sakit perasaan itu.
Impian di hidupnya yaitu menikahi Darwin, lalu melahirkan banyak anak.
Sekarang, dia sedang sekarat, impian dia untuk menikahi Darwin belum terwujudkan, apalagi kalau sudah mati.
Berpikir tentang itu, air mata pun menetes dari sudut mata Efa.
Dia masih belum mau mati, dia masih ingin menjumpai orang itu, orang yang dia terus pikirkan selama hidupnya. Ingin rasanya memiliki kesempatan, menjumpai dia lagi.
Tepat ketika kesadaran Efa mulai mengambang, tiba-tiba penculik itu mengangkatnya, lalu melemparnya ke dalam air.
Air yang dingin itu belum menyentuh kulitnya, tapi seperti sudah menembus luka di tubuhnya, dingin dan sakit di waktu yang sama.
“Ayo kamu berbaring disini, kalau kamu memang beruntung, Darwin mungkin akan menemukanmu disini.”
Sementara itu, sepertinya terdengar ada suara orang lain, suara yang asing dan tidak dapat dikenali.
Efa berusaha membuka matanya, tapi kelopak matanya terasa sangat berat, dia mengerahkan seluruh tenaganya, matanya hanya terbuka sedikit. Lalu dia dapat melihat seperti ada seseorang yang berjalan keluar dari pandangannya.
Singkatnya, iblis itu akhirnya pergi.
Efa tidak peduli lagi barusan itu siapa, dia juga tidak peduli apa air disitu bersih atau tidak, dia dengan cepat menyicip air itu dua kali. Setelah itu, dia merasa lebih baik, dan pikirannya juga menjadi lebih sadar.
Kemudian juga tidak ada yang mengganggu dia lagi, dia memejamkan matanya, dan rasa kantuk mulai datang lagi dan dia pun ingin tidur lagi.
Dia pernah mendengar ada orang bilang bahwa saat terluka harus tetap terjaga. Jangan membiarkan diri sendiri jatuh tertidur, kalau tidak takutnya tidak akan bangun lagi untuk selamanya.
Efa lalu berusaha sebisa mungkin untuk tetap terjaga. Tapi Efa yang baru saja mengalami bencana ini, tidak ada tenaga lagi sedikitpun.
Dia sangat sangat ingin melihat dunia luar lagi, dan melihat orang yang ingin dia nikahi itu.
“Efa!”
Emm??
Efa tidak dapat menahan diri tertawa kecil, orang yang sedang sekarat, apa benar mudah berhalusinasi? Orang yang paling ingin kamu temui, kamu akan mendengar suaranya memanggil dirimu saat kamu sekarat.
“Sial Efa, kamu jangan berani-beraninya mati.”
Dengan adanya suara Darwin yang putus asa, Efa merasa telah jatuh ke pelukan yang erat dan hangat.
Halusinasi ini terlalu realistis, rasanya seperti Darwin benar-benar sedang memeluk dia. Saat dia bersandar dekat dengannya, dia juga bisa merasakan lekuk-lekuk dari otot Darwin.
“Darwin, kamu tahu aku tidak sanggup lagi, apa kamu bisa di mimpi ini mengantar aku sampai akhir, aku masih ingin berterima kasih padamu.” Walaupun ini hanya mimpinya, tapi dia masih ingin berterimakasih pada Darwin.
Bukan hanya ingin berterimakasih, dia masih ada banyak hal yang ingin diucapkan kepada Darwin. Walaupun sudah mau mati, tapi tetap, Darwin harus tetap mengingatnya.
“Darwin, kehidupan selanjutnya, kalau memang ada kehidupan selanjutnya, kamu yang harus mengejarku.”
“Darwin, apa kamu tahu kenapa namaku adalah Polaris?”
“Efa, tutup mulutmu!”
“Haha” Efa yang lemah tiba-tiba tertawa, dan saat itu wajahnya terlihat bagai bunga yang bermekaran, alangkah cantiknya. “Darwin, kenapa kamu di mimpiku saja galak sekali? Aku ini sudah sekarat kamu masih menyuruh aku diam. Nantinya, aku bisa dengan siapa bilang seperti ini lagi?”
Dia berkata dengan pelan, dengan sedikit mengomel dan rendah hati, sama seperti cintanya ke Darwin. Bibirnya tersenyum, bersamaan dengan menetesnya air mata dari sudut matanya, satu demi satu, menetes ke tangan Darwin.
Darwin yang bukan sebuah ilusi itu, hatinya merasa sangat terguncang, hampir menjerit kesakitan. Dia tidak tahan lagi, lalu memeluk Efa dengan makin erat, dengan suara yang tidak pernah selembut itu berkata: “Kamu diam saja, bilang pelan-pelan nanti.”
Setelah itu, dia lalu membawa Efa keluar.
Tapi Efa masih memiliki banyak hal yang ingin dia ucapkan, walaupun itu akan menguras nyawanya, dia ingin memberi tahu Darwin seisi hatinya.