“Ariella!” Carlson memanggil dengan lembut dan menepuk pelan punggung Ariella, “Tidak ada yang bisa menyakiti aku, kamu tidak perlu khawatir.”
“Tapi……” Ariella tidak tahu harus bagaimana buka suara kepada Carlson.
Dia percaya Carlson tidak akan melakukan sesuatu yang akan menyakiti ayahnya, tetapi ia juga tidak tahu cara menjelaskan video itu.
Atau mungkin dengan mencari Ferdian baru bisa mengerti seperti apa masalah ini.
“Tidak ada tapi-tapi.” Carlson mengelus lembur kepala Areilla dan mencium keningnya, “Percaya padaku, kamu istirahat dulu, setelah bangun semua akan baik-baik saja.”
Akhir-akhir ini Ariella sibuk mengurusi anak yang baru saja mereka adopsi, Carlson mengira mungkin ia kelelahan, istirahat semalaman akan membuatnya jauh lebih baik.
“En.” Ariella menganggukan kepalanya.
Carlson menggendongnya, lalu dengan langkah yang besar membawanya masuk kekamar dan menaruhnya dengan lembut diatas kasur: “Kamu tidur duluan, aku mandi sebentar.”
Ketika Carlson akan pergi, Ariella menarik tangannya, menatapnya dengan khawatir, lalu pelan-pelan melepaskan tangannya: “Kamu pergi mandi saja, aku tidur dulu,”
Sudah larut seperti ini, ia tidak ingin karena dirinya menggangu waktu istirahat Carlson.
“En!” Carlson mengelus kembali kepalanya lalu pergi ke kamar mandi.
Ariella berbaring ditempat tidur, memejamkan mata, ia sangat ngantuk tetapi ia tidak bisa tidur, otaknya penuh dengan video yang tadi dilihat.
Mau bagaimanapun ia berpikir, ia merasa tidak masuk akal dengan video tersebut.
Sudahlah, tidak ingin dipikirkan lagi, besok pagi ia akan pergi mencari Ferdian untuk memperjelas apa yang sebenarnya terjadi, ia tidak boleh memfitnah Carlson begitu saja.
Tak lama, Carlson pun selesai mandi, lalu berbaring disebelah Ariella dan meletakkan tangannya diperut Ariella: “Ariella, tidak perlu khawatir.”
Ariella memeluk Carlson: “Carlson, kita akan baik-baik saja kan.”
Dia bertanya dengan ragu, karena hatinya sangat kacau, jelas-jelas ia mencoba percaya pada Carlson, tetapi ia masih ada rasa takut.
“Pasti.” Carlson memeluk erat, “Tidurlah.”
Dia tidak dapat tidur nyeyak, begitu juga dengan Carlson, tetapi Carlson harus bangun pagi untuk bekerja, sedangkan Ariella dapat tidur hingga siang hari.
Beberapa tahun ini, Carlson terbiasa untuk bangun pagi dan duduk didekat jendela sambil menunggu Ariella terbangun.
Hari ini Ariella tertidur saat langit mulai terang, ia kemungkinan akan bangun disiang hari, jadi Carlson setelah bangun langsung berangkat ke kantor. Ia menitipkan pesan kepada Nurmala untuk tidak membangunkan Ariella, dan menyiapkan makanan agar begitu dia bangun ia bisa langsung makan.
Carlson tidak tahu jikalu Ariella tidak tidur seharian, ketika ia keluar dari pintu kamar, Ariella membuka mata.
Kalau tidak seger memperjelas masalah ini, ia tidak akan bisa tidur dengan nyenyak.
Ariella bangun, mencari HP, lalu menelepon Ferdian, sama seperti kemarin, ia mengangkat telepon setelah menelepon berkali-kali.
“Ariel, kenapa?” Suara Ferdian berbicara jauh lebih baik dari kemarin, tetapi masih dapat terdengar jelas bahwa ia baru tersadar dari maboknya.
“Ferdian, video yang kamu kirimkan kepadaku, itu maksudnya apa?” Ariella lebih memilih percaya bahwa video tersebut adalah buatan orang lain, dan percaya bahwa Carlson bukanlah pembunuh dibalik kematian ayahnya.
“Video apa?” Ferdian dengan malas membalikkan badannya, masih setengah sadar, dan tidak dapat mengingat video apa yang dimaksud oleh Ariella.
Ariella dengan marah berkata: “Video yang kamu kirim ke aku lewat chat.”
“Video lewat chat?” Setelah Ferdian mendengar, ia dengan cepat membuka chat dan mencari pesannya dengannya Ariella, didalam chat muncul sebuah video.
Melihat video itu, ia berbicara dengan pelan, mampus!
Setelah mabok ia tidak tahu apapun, tidak tahu kalau ia mengirimkan video kepada Ariella, bahkan tidak tahu bagaimana bisa ia ada dihotel.
Ariella kembali berbicara: “Kamu jelasin dengan jelas ke aku, ini maksudnya apa? Aku butuh tahu kebenarannya.”
“Aku……” Masalah ini Ariella sudah tahu, Ferdian juga tidak berencana untuk menutupinya lagi.
Ia akan menjalankan perintah ayahnya untuk menolong Ariella dan Riella kecil, meninggalkan Carlson sih monster itu, dengan begitu mereka akan hidup berbahagia.
Ia menarik nafas panjang dan berkata: “Kamu benar ingin tahu kebenaran sebenarnya apa yang terjadi?”
“Tentu saja aku butuh tahu. Aku tidak ingin orang lain yang memutuskan sesuatu untukku.” Apapun kebenarannya, Ariella ingin menghadapinya sendiri.
Carlson, Ferdian, siapapun itu tidak ada yang bisa mengambi keputusan, hanya dia sendiri yang bisa.
Mereka tidak ada yang bisa mengambil keputusan untuknya, mau itu suaminya ataupun kakaknya.
……
Menginjak kembali rumah Ferdian, Ariella merasakan hal yang berbeda, ia tiba-tiba terbayangkan ayahnya keluar dari kamar, tersenyum padanya dan memanggilnya??Ariel.
Ingin rasanya Ariella meneteskan matanya.
Ferdian berkata: “Kalau kamu ingin tahu, aku akan beritahumu semuanya. Setelah tahu kenyataannya kamu mau bagaimana, kamu sendiri yang memutuskan, aku tidak akan ikut campur.”
“Ok, kamu kasih tahu aku semuanya, jangan ada yang ditutup-tutupi.” Ariella mengigit bibirnya dan berusaha untuk tetap menstabilkan emosinya.
Informasi apapun yang ia tahu dari Ferdian, dia harus tetap tenang, agar dapat memikirkan jalan keluar, agar dapat membuat Carlson lepas dari fitnahan.
Saat ini, Ariella masih percaya pada Carlson, ia percaya Carlson tidak akan mungkin menyakiti ayahnya.
Karena dia tidak memiliki tujuan untuk melakukan pembunuhan itu.
“Apakah kamu ingat kejadian Efa diculik, bahkan hampir saja kehilangan nyawa?” Suara Ferdian pelan-pelan memasuki telinga Ariella.
Ariella menganggukan kepala: “Aku pasti ingat. Tetapi sampai saat ini kita tidak tahu siapa pelakunya, atau mungkin mereka tidak ingin memberitahuku siapa pelakunya.”
Ferdian kembali berbicara: “Apakah kamu masih ingat, ketika Riella kecil ulang tahun ia mendapatkan sepatu kristal? Apakah kamu masih ingat kamu mendapatkan telepon dari nomor asing?”
“Ingat.” Kejadian yang begitu menakutkan, bagaimana mungkin Ariella akan melupakannya.
“Yang lakuin semua ini adalah satu orang yang sama.” Ferdian menghela napas, lalu melihat Ariella, “Orang ini adalah ayah kita, dialah yang menculik Efa bahkan hampir saja merengut nyawa Efa, dialah yang menyiapkan hadiah ulang tahun untuk cucunya, dan dialah yang selalu meneleponmu dengan nomor asing.”
“Kak, Kamu lagi ngomongin apa sih? Kalau tidak ada bukti jangan sembarang berbicara ya.” Ariella menggelengkan kepalanya, berharap kalau ia salah dengar.
Ayahnya, bagaimana mungkin ayahnya melakukan hal seperti itu.
Memberi Riella kecil sepatu kristal, meneleponnya dengan nomor asing, ini bisa dimaklumkan, Ariella juga percaya bahwa ayahnya dapat melakukan hal seperti ini, tetapi ia tidak percaya ayahnya akan menculik Efa.