Tepat saat dia menatapnya, Ariella tiba-tiba membuka matanya, dan kemudian mereka saling melihat satu sama lain.
“Sudah selesai sibuk?” Ariella bertanya dengan setengah sadar.
“Ariella—” Carlson memanggil namanya
“Ya?” Ariella menggosok matanya.
“Hari ini kamu beritahu aku bahwa kamu sudah hamil?” Carlson mengatakannya setelah diam sebentar.
Mendengar dia mengatakan demikian, Ariella akhirnya mengerti kenapa reaksi dia sangat begitu tenang, ternyata laki-laki ini ragu apabila dia salah dengar.
Dia pasti sangat peduli makanya ada reaksi yang konyol seperti itu.
“Ariella—” Carlson memanggilnya dan dengan gugupnya menelan ludahnya.
“Ya, aku benar sudah hamil, tuan Carlton.” Ariella mengganguk dan tersenyum.
Setelah Ariella mengatakan demikian, Carlson tetap tidak ada reaksi, hanya diam menatapnya, tidak bisa ditebak apa yang dipikirkan oleh dia?
Wajahnya yang kelihatan dungu, tidak tahu karena mendengar Ariella bilang yakin sudah hamil atau karena dipanggil tuan Carlton?
“Tuan Carlton?” Ariella tersenyum melambaikan tangannya, kemudian bertanya, “Apa kamu senang mendengar kabar ini?”
“Tidak.” Kemudian Carlson naik kasur berbaring di samping Ariella, sebenarnya ingin memeluk perut Ariella, namun teringat dia sekarang adalah seorang bumil, tidak boleh sembarangan disentuh, menarik balik tangan sendiri dan tidak tahu harus diposisikan di mana.
Pertama kalinya melihat Carlson segugup itu, Ariella tidak bisa tahan lagi untuk ketawa, lalu berguling ke sampingnya, dan di saat Ariella ingin mengatakan sesuatu, dia mendengar Carlson dengan tegas berkata: “Berbaring yang baik, jangan sembarangan gerak.”
Ariella mengedipkan matanya, dengan merasa bersalah mengatakan: “Hmm, tuan Carlson, kamu ini barusan punya anak sudah tidak mau sama istri lagi ya?”
Carlson: “……”
Dia bukan tidak mau sama istrinya lagi, namun dia dilahirkan dengan distosia oleh ibunya, jadi dia khawatir dengan Ariella.
Ariella menyandar di lengannya dan menghempaskan nafas: “Tuan Carlton, kamu tidak perlu terlalu khawatir, aku dan anak kita tidak selemah itu.”
Carlson berbaring di sebelahnya, badannya sangat kaku sampai tidak berani untuk bergerak sama sekali, seolah-olah akan menyakitinya bila bergerak sedikit.
Ariella lalu berkata lagi: “tetapi kabar tentang aku sudah hamil, kamu jangan beritahu orang tua dulu, aku dengar orang bilang harus tunggu sudah 3 bulan baru boleh beritahu.
“Baik.” Tidak peduli bila ini benar atau tidak, dia tetap menuruti Ariella.
“Kalau begitu tidurlah.” Ariella menempatkan wajahnya di depan dada Carlson, “Selamat malam, Tuan Carlton!”
“Baik.” Carlson mengangguk kepalanya, dan tetap tidak berani untuk bergerak, tidak lama kemudian dia bertanya lagi: “Kamu kenapa tiba-tiba percaya aku adalah Carlton?”
Dulu ketika Carlson memberitahu dia tentang hal ini, dia mengira Carlson hanya sedang bercanda saja, tetapi kenapa hari ini tiba-tiba percaya?
Setiap perkataan dan perbuatan Ariella hari ini membuat Carlson merasa asing, apakah ini efek dia hamil?
“Karena kamu memang Carlton.” Ariella dengan senyum membalasnya.
“Kamu dulu pernah bilang bahwa kamu benci Carlton.” Pada saat itu Carlson sedikit khawatir bagaimana jika Ariella tidak bisa menerima identitas dia.
“Aku benci dengan Carlton yang sering dibicarakan oleh banyak orang, namun Carlton yang aku kenal bukan seperti itu, jadi aku akan tetap baik sama kamu, kamu tenang saja.” Tidak peduli apa identitas Carlson, dia tetaplah suaminya, jadi Ariella akan selalu menerimanya.
Ariella bahkan tidak pernah berharap identitas seperti Carlton akan membawakan sesuatu untuknya, dia hanya ingin mendapatkannya dengan usahanya sendiri, jadi dia bisa menerima identitasnya.
Alasan yang diberikan Ariella sangat simpel, Carlson tidak tahu benar atau tidak, namun dia tidak banyak tanya lagi, dengan lembut menepuk punggungnya membuatnya tidur seperti membuat anak bayi tidur.
Belakangan ini Ariella selalu ngantuk, tidak perlu waktu yang lama dia pasti akan ketiduran, namun Carlson tidak bisa tidur karena memikirkan bayi yang ada di perutnya, bahkan bisa berpikir lebih banyak lagi.
Laki-laki atau perempuan ya?
Anak kalau sudah lahir nanti akan lebih mirip Carlson atau Ariella ya?
Carlson berharap punya anak perempuan, seorang anak perempuan yang mirip dengan dia, dan sifatnya juga serupa dengannya, tidak peduli melewati berapa banyak masalah, tetap bisa bangkit untuk melanjutkannya, hidup dengan bahagia.
Setelah lama berpikir, tangannya dengan hati-hati memegang perut kecil Ariella, dia tidak bisa merasakan apapun, namun dia seakan-akan bisa merasakan ada detakan jantung.
Sungguh sesuatu rasa yang aneh.
Tidak lama dulu, dia bahkan tidak pernah berpikir untuk menikahi seseorang, tidak disangka hanya beberapa bulan saja, dia sudah punya anak.
Dikatakan bahwa anak adalah kelanjutan dari kehidupan orang tua, kalau begitu apakah anak ini adalah kelanjutan dari kehidupan mereka.
“Carlson—” bisikan dari Ariella yang sudah terlahap tidur.
“Ya?” Carlson menahan nafasnya, dan mendengar apa yang ingin disampaikan oleh Ariella.
“Kita pasti akan selalu bersama kan.” Meskipun suaranya sangat kecil, dia juga tetap bisa mendengarnya dengan jelas.
Meskipun Ariella tidak melihat dan tidak mendengarnya, namun Carlson tetap menjawab: “Pasti.”
Asalkan Ariella bersedia, mereka pasti bisa selalu bersama.
Carlson tidak mengerti apa yang ada di pikiran Ariella, tetapi dia tahu persis apa yang ada di pikirannya sendiri.
Semenjak memutuskan untuk menikahinya, pikiran ini selalu ada di dalam benaknya, sangat yakin, tidak pernah ragu.
Keesokkan harinya.
Ariella bangun lebih pagi, dia melihat ke luar jendela, namun tidak melihat Carlson yang biasanya sudah berpakaian rapih duduk di sebelah jendela membaca koran.
“Sudah bangun.”
Suaranya tiba-tiba terdengar di atas kepalanya, dia sekali menghadap balik, melihat Carlson yang setengah berbaring di sampingnya, masih memakai baju tidur.
“Kamu hari ini nggak ada kerjaan?” mereka sudah menikah lama, selain waktu dia sakit demam, ini adalah pertama kalinya ketika Ariella bangun masih melihat dia berbaring di kasur.
“hari ini libur seharian.” Carlson membalasnya.
“Ini baru permulaan kamu sudah liburan, nanti kedepannya masih banyak beberapa bulan, memangnya kamu mau setiap hari pergi kerja?” Ariella langsug tahu sekali mendengar dia tidak pergi kerja.
Sudah punya anak memang kabar yang baik, namun Ariella tidak ingin dia terlalu mementingkan hal ini, apalagi sampai memengaruhi perkerjaannya.
“Hari ini lagi senang.” Carlson membalasnya.
Jelas mengatakan bahwa dia senang, namun ekspresinya tetap datar seperti sebelumnya, tidak kelihatan betapa senangnya dia.
“Aku masih harus pergi kerja.” Ariella tidak ingin membiarkan kerjaannya walaupun sudah punya anak, dia masih ingin berusaha mencari uang untuk membeli bubuk susu, tidak akan pernah jadi orang yang hanya bergantung.
“Tidak masalah, aku temanin kamu.” Carlson membalasnya.
Ariella: “……”
Carlson membuat Ariella merasa tidak enak padanya.
Dia seorang petinggi ingin menemani Ariella pergi kerja, uang yang didapatkan oleh Ariella bahkan tidak seberapa bila dibanding dengannya.
Dia pasti ingin membuat Ariella merasa terbebani, supaya Ariella bisa di rumah saja, tidak pergi kerja.