Mục lục
NOVEL SUAMIKU TERNYATA SEORANG PRESDIR
Thiết lập
Thiết lập
Kích cỡ :
A-
18px
A+
Màu nền :
  • Màu nền:
  • Font chữ:
  • Chiều cao dòng:
  • Kích Cỡ Chữ:

Bab 443 Kecanggungan Yang Datang Tiba-Tiba





“Riella tenang saja, abang Hansel akan terus menjaga di sisi Riella, tidak akan membiarkan siapapun ada di sini,” Hansel menggenggam tangan Riella kecil dengan telapaknya yang lebar, memberitahunya dengan lembut.





“Abang Hansel ????” Riella kecil mengedipkan mata besarnya sambil menggumam, “Riella ingin mendengar abang Hansel bercerita.”





“Baiklah, abang Hansel akan bercerita untukmu,” Hansel mengelus pipi tembam Riella kecil, ujung bibirnya merekah, sambil dengan lembut bercerita, “Pada dahulu kala, ada seorang petani yang bertemu seekor ular????”





“Riella tidak mau, ada orang jahat!” Riella kecil menggelengkan kepalanya pertanda tidak mau mendengar cerita berbau jahat.





“Baiklah, kalau begitu abang Hansel akan mengganti ceritanya,” tapi walau berpikir keras, Hansel tidak menemukan cerita yang cocok untuk diceritakan pada Riella kecil.





Dalam dunia Hansel, sedari kecil ia sudah menerima didikan keras, cerita dongeng yang indah adalah hal yang tidak pernah bersentuhan dengannya sama sekali.





“Riella ingin mendengar cerita Putri Es.” Riella kecil sudah melihat cerita Putri Es berulang kali, tapi ia tetap ingin mendengarnya, dan menontonnya, karena baginya Putri Es sangat cantik.





Mendengar Riella kecil ingin mendengar cerita Putri Es, Hansel langsung menggela nafasnya dengan lega.





Cerita ini sudah ia tonton berulang kali bersama Riella kecil, sudah lama diingatnya. Menyuruhnya menceritakan ulang adalah hal mudah.





Hansel bercerita dengan pelan, “abang Hansel akan menceritakan Riella kecil kisah Putri Es.”





Hansel membersihkan tenggorokannya, dengan suara rendahnya, menceritakan kisah Putri Es dengan lembut kepada Riella kecil.





Mendengar suara abang Hansel, Riella kecil perlahan masuk ke dalam mimpinya. Karena abang Hansel memegang tangannya, selalu menjaga di sisinya, maka ia tidak takut dan tidak terbangun lagi.





Kamar yang lain, tadinya Ayah Ibu Riella kecil ingin memanfaatkan saat Riella kecil tidak di kamar melakukan hal yang “menggemparkan bumi”.





Namun, belum saja dimulai, sudah terjadi hal yang sangat memalukan.





Jadwal bulanan Ariella datang di saat yang tepat, tidak tahu apakah belakangan ini terlalu tegang, malam ini ketika keduanya bersemangat tinggi, tiba-tiba saja tamu bulanannya datang.





Kedatangannya bagaikan seember air es yang disiramkan tepat pada semangat keduanya, mematikan api membara dengan seketika.





“Maafkan aku!” Ariella membalikkan badannya dan berdiri, bersembunyi di dalam kamar mandi dengan malu, meski sudah selesai merapihkan diri, namun ia malu bertemu Carlson.





“Ariella — –” Carlson mengetuk pintu kamar mandi, bertanya dengan serius, “Apakah ada yang bisa aku bantu?”





“Tidur saja dulu, jangan ganggu aku!” terjadi hal memalukan di saat seperti ini membuatnya butuh waktu sendiri untuk menenangkan diri.





Setelah membersihkan diri, Ariella mencuci mukanya, melihat bayangan dirinya di kaca dengan wajah kemerahan, jantungnya berdegup kencang.





Sungguh sangat memalukan, jadwal bulanan kali ini tidak ada persiapan sama sekali, ia sungguh malu, malu hingga mau tidak mau bersembunyi di dalam kamar mandi dan tidak keluar.





Ariella berlama-lama di kamar mandi hingga tidak terdengar suara apapun dari luar kamar, ia menebak Carlson pasti sudah tidak menunggu dan tertidur.





Perlahan-lahan membuka pintu, mengeluarkan kepalanya untuk melihat keadaan, siapa sangka sesaat setelah membuka pintu, Carlson lah yang ditatapnya.





Ariella menegakkan badannya perlahan, buru-buru melangkah mundur, sebenarnya ingin menutup kembali pintu kamar mandi, memisahkan dirinya dan Carlson.





Namun Carlson jauh lebih cepat dibandingkan Ariella, ia menahan pintu dengan tangannya, lalu mendorongnya dengan sedikit tenaga.





Ariella buru-buru melangkah mundur, tapi ditahan oleh Carlson, Ariella mengomel dengan panik, “Kau, kau mau apa?”





Carlson memegang tangannya, menariknya paksa kembali ke kamar, bertanya, “Bagian tubuhmu yang mana yang belum pernah aku liat?”





Ariella menggantungkan kepalanya, berkata dengan lirih, “Kali ini berbeda.”





“Tidur lah baik-baik!” Carlson memerintahnya, nada bicaranya memaksa, seakan-akan tidak memberikan Ariella kesempatan menolak.





“Baik” seperti anak kecil yang menyadari kesalahannya, Ariella menjawab dengan pelan, tiduran dengan patuhnya, tidak bergerak sama sekali.





Carlson menarik selimut menutupi Ariella, memijat kepala Ariella, “Jangan bergerak, aku akan kembali sebentar lagi.”





“Hm,” Ariella masih tidak berani menatap Carlson, seluruh wajahnya memanas.





Tidak berapa lama, Ariella mengantuk dan hampir saja tertidur, barulah Carlson kembali.





Tangannya membawa sebuah mangkok, berjalan ke dekat Ariella dan duduk di sisinya, “Minumlah ini sebelum tidur kembali.”





Ariella mendudukan badannya, “Apa ini?”





“Air gula dan jahe,” sahut Carlson.





Tubuh Ariella cukup lemah, setiap datang bulan akan terasa menyiksa, jauh lama sebelumnya, Carlson sudah bertanya pada dokter akan hal ini, katanya baik untuk meminum air gula dan jahe.





Ariella mudah merasa malu, Carlson memahaminya, dulu setiap datang bulan, Carlson tidak pernah langsung seperhatian ini.





Carlson selalu diam-diam menyuruh koki memperhatikan menu makanan saat Ariella datang bulan, sebisa mungkin membuat makanan yang lebih tawar dan hangat.





Ariella meraih mangkok itu, meminumnya seteguk, lalu mendongak menatap Carlson, “Sudah semalam ini, kau masih menyuruh Nurmala untuk bangun dan menyeduhkan semangkuk sup untukku, betapa merepotkan.”





“Tubuh lebih penting!” Carlson menjawab asal tanpa memberi tahunya, bahwa sebenarnya ia menyeduh sendiri sup ini.





Melihat Ariella meminumnya habis, Carlson mengambil tisu dan membantunya membersikan sisa-sisa sup di mulut, “Beristirahatlah sambil tiduran.”





“Aku tidak apa-apa,” ia hanya sedikit tidak enak badan, bukannya sangat sakit, melihat Carlson begitu tegang, dikiranya Ariella sakit parah.





“Menurutlah,” Carlson tidak banyak berbicara, hanya satu kata. Ia bangkit dan meletakkan mangkok di luar kamar, baru kembali dan merebahkan diri.





Ia menempatkan Ariella di pelukkannya, telapaknya yang tebal memegangi perut Ariella, “Masih tidak enak?”





“Tidak kok,” Ariella menggeleng pelan.





Ariella tidak pernah memberi tahu Carlson bahwa datang bulan bisa membuatnya tidak nyaman, bagaimana Carlson bisa tahu?





Carlson berkata, “Bilanglah kalau sakit.”





Ariella selalu begini, tidak peduli masalah apapun selalu disimpan di dalam hati, tidak pernah menceritakannya pada orang lain. Termasuk Carlson.





“Tidak sakit,” Ariella menggeliat dari pelukannya, menendangnya dengan ringan, “Bukan masalah besar, lihatlah kau begitu panik.”





“Karena itu kau, makanya aku panik, ” Carlson memeluknya lebih erat lagi.





Ariella bersandar di pelukkannya, mendengar detak jantungnya membuat Ariella tenang, perlahan memasuki alam mimpinya.





Carlson justru tidak bisa tertidur, kepalanya memikirkan banyak hal.





Memikirkan orang misterius yang menculik Efa, jika orang itu adalah Fernando, Ariella tahu, keluarga yang lain juga tahu, hubungan di dalamnya, bagaimana mereka meluruskannya?





Efa tidak ingin mencari penculik yang melukainya, tapi orang lain tidak bisa menganggapnya tidak terjadi, terlebih Ariella.

Danh Sách Chương:

Bạn đang đọc truyện trên website TruyenOnl.COM
BÌNH LUẬN THÀNH VIÊN
BÌNH LUẬN FACEBOOK