Mục lục
NOVEL SUAMIKU TERNYATA SEORANG PRESDIR
Thiết lập
Thiết lập
Kích cỡ :
A-
18px
A+
Màu nền :
  • Màu nền:
  • Font chữ:
  • Chiều cao dòng:
  • Kích Cỡ Chữ:

Bab 616 Dua Orang Yang Bertahan


“Puspita!” Ariella memandang Puspita sambal tertawa ringan, “Kita berdua selalu bersama sejak masa SMA hingga kuliah, lalu bersama di Pasirbumi hingga sekarang. Selama tahun-tahun yang telah berlalu ini kau selalu ada untuk menjagaku, aku harus berterima kasih padamu.”


Ketika semua orang menjauhinya, hanya Puspita yang selalu ada di sisinya. Saat ini ketika ia sedang kebingungan dan tak tahu harus bagaimana pun hanya Puspita yang menemaninya.


Puspita adalah sahabat karibnya, ia teman terbaiknya. Kapanpun ia selalu membantunya, menjaganya, namun ia tak boleh menganggap bantuan dan dukungan Puspita sebagai sesuatu yang sudah seharusnya ada.


Puspita sudah berkeluarga, ditambah lagi masa melahirkannya hampir tiba, ia juga punya kesibukan sendiri. Tidak sebaiknya ia terus menerus menyibukkannya dengan urusan sendiri.


Di bagian ini, pertimbangan Ariella sangat jelas.


Padahal Ariella tengah tertawa, namun yang dilihat Puspita justru adalah tangisan, dan itu membuatnya tersakiti juga, “Dasar bodoh, untuk apa kau mengatakan semua ini padaku? Apa kau berniat memutuskan hubungan denganku?”


“Puspita, aku bukannya ingin memutuskan hubungan denganmu. Hanya saja masalah kali ini ingin kuselesaikan sendiri, ya?” sahut Ariella lembut.


Puspita pernah terkena luka bakar karena dirinya, bahkan bekasnya belum hilang sampai saat ini.


Saat ini Puspita sudah hampir melahirkan, mereka sekeluarga akan menikmati hari-hari yang tenang dan hangat, dia tak boleh lagi menariknya masuk dalam bahaya apapun.


Albi itu, seluruh bagiannya beraura bahaya, ia pasti bukan tipe orang yang mudah dibujuk.


Mengetahui orang tersebut tidak mudah terbujuk, Ariella juga tidak lagi berusaha melakukannya. Namun begitu ditatap olehnya, ia berpikir seharusnya ia tidak mudah terlepas darinya.


Ia hanya berharap lawan Albi cukup gesit dan berani melawan, karena mereka tak tahu kapan Albi akan melakukan sesuatu.


Puspita berkata dengan ragu, “Tapi Ariella??”


“Pus, aku dan Carlson sudah bercerai.” Ariella menghela napas dalam-dalam, lalu berkata dengan tenang, “Bukan karena ia tidak cukup baik, juga bukan karena ia berlaku buruk padaku. Justru karena ia terlalu baik dan terlalu sempurna untukku, dan aku tak mampu menjaganya. Kau tahu, ketika aku masih bersamanya, ada kalanya aku merasa takut, aku takut suatu hari ia tiba-tiba meninggalkanku. Sama seperti yang terjadi dengan ibuku, sampai saat terakhirpun aku tak bisa melihatnya lagi.”


“Ariel, tidak seperti itu.” Puspita sangat mengerti Ariella, mengerti apa yang ia khawatirkan.


Ariella tersenyum pahit dan berkata, “Puspita, ibuku juga seperti itu, ayahku pun demikian. Tidak hanya kedua orang yang kukasihi, bahkan kau pun jadi terluka karena aku??Puspita, aku takut, aku sungguh-sungguh takut, takut kalau suatu hari aku akan mendengar kabar yang tak enak.”


Puspita berkata, “Ariella, tahu tidak, Carlson sangat peduli denganmu. Kalau tidak bagaimana mungkin dia mengejarmu hingga pindah tinggal ke sebelah rumahmu?”


“Aku tahu??” kata Ariella tersenyum, lalu menyahut, “Puspita, pulanglah lebih dulu, jangan suka membuat Gustin khawatir.”


Tentu saja Carlson sangat baik terhadapnya, tapi justru karena hal itulah ia memutuskan menjauhi Carlson sejauh mungkin??


“Riel, kau??”


“Puspita, pulanglah.”


Sikap Ariella sangat yakin, maka Puspita hanya bisa pergi.


Setiap kali ia melangkah ia akan menoleh kembali, ia takut begitu ia meninggalkan tempat itu, Ariella akan jatuh ke lantai karena lemah.


Ariella hanya terus memandangnya sambil tersenyum, memberikannya sorot mata yang menenangkan, seakan-akan berkata ?C jangan khawatir, aku tidak apa-apa.


Seharusnya ia memercayai Ariella, meskipun dari luar ia terlihat lemah, tapi hatinya begitu kuat, ia tidak akan mudah dijatuhkan.


Ariella yang dulu sangat lemah, tapi saat ini ia telah jauh lebih dewasa, seharusnya ia tahu apa yang harus dilakukannya.


Setelah berpikir demikian, Puspita menjadi tenang, setelah menghela napas ia pun berlalu.


Ariella yang terus menatap Puspita hingga ia berlalu pun mengalihkan matanya, sorot mata yang tadinya mengandung senyuman seketika berubah muram dan datar, seperti kehilangan cahayanya.


Ia mengangkat tangannya dan menekan bel, ditekan-tekannya bel itu beberapa kali, namun penghuni rumah itu tak juga berespon.


Setelah sekian lama, Ariella mengambil ponselnya dan mengirimkan pesan singkat kepada Carlson ?C [Carlson, aku hanya akan bicara 2 kalimat padamu, 2 kalimat saja, setelah ini aku tidak akan lagi mengganggu hidupmu, mohon kau keluar sebentar.]


Selesai mengetiknya, Ariella sekali lagi membacanya. Setelah ia merasa nada perkataannya telah diatur dengan baik, ia berharap kali ini Carlson akan keluar dan menemuinya.


Tapi, sekali lagi, pesan yang dikirimkan tidak mendapat balasannya.


Bel pintu ditekan tidak ada respon, ditelepon tidak diangkat, ia mengirim pesan pun tak dibalas?? semua cara yang dapat dipikirkan Ariella sudah dilakukannya, dan kalau Carlson tetap tidak berespon, maka yang dapat ia lakukan hanyalah berdiri di sini dan menunggunya.


Ia harus menunggu Carlson menemuinya.


??????


Di saat bersamaan, di dalam rumah tersebut terjadi hal yang berbeda.


Suhu dalam ruangan sangat hangat, di dalam hampir tidak terasa bahwa saat itu sedang musim dingin.


“Ayah!” Oriella menarik ujung baju Carlson dengan hati-hati, lalu memanggilnya dengan pelan.


Namun Carlson yang tengah tenggelam dalam pikirannya itu tidak menyahut, membuat mulut kecilnya itu mulai menangis.


“Ayah, Oriella ingin Ayah dan Ibu bersama!” Ketika Ayahnya tidak mendengarkannya, Oriella mengatakannya untuk kedua kalinya, ia harus mengatakannya sampai ayahnya mendengarkannya.


Ia tidak ingin ayah dan ibunya bertengkar, ia tidak ingin ayah dan ibunya berpisah, ia ingin ayah dan ibunya bersama selamanya, ingin mereka bersama-sama membesarkannya dan selamanya tidak berpisah, dengan begitu barulah ia menjadi anak yang paling berbahagia.


Carlson mengalihkan pandangannya, lalu menepuk punggung Oriella pelan dan berkata dengan lembut, “Malam ini Oriella bersama dengan Ayah ya, tunggu sampai pergelangan tanganmu tidak bengkak lagi baru kita akan kembali menemui Ibu.”


Selesai mengatakannya, perkataan yang baru saja dikatakannya pada Ariella itu semuanya penuh dengan kemarahan. Setelah ia mendinginkan pikirannya beberapa saat, ia tidak akan benar-benar mengambil paksa Oriella seperti ini.


“Oriella tidak ingin Ibu sedih! Oriella ingin mencari Ibu!” rengek Oriella, mimiknya yang begitu memelas dan kasihan seakan-akan berkata bahwa jika ayahnya tidak melarangnya mencari ibu, dia pasti akan menangis.


“Oriella??” dengan penuh kasih Carlson mengusap kepala Oriella, “Oriella pasti sangat mengkhawatirkan Ibu ya?”


“Ya ya ya!” Oriella mengangguk sekuat tenaga.


Carlson bertanya lagi, “Oriella pasti ingin Ayah dan Ibu bersama selamanya ya?”


“Ya ya ya!” Sekali lagi Oriella mengangguk kuat.


“Kalau begitu Oriella janji sama Ayah, tinggal bersama Ayah 2 hari, jangan mengkhawatirkan hal lain dulu, biarkan Ayah yang menyelesaikannya. Ok?” Carlson yang berbicara dengan anak perempuannya begitu lembut dan sangat sabar.


“Ayah, Ibu ada di luar, di luar salju sedang turun deras.” Sejak tadi Oriella telah melihat ibunya berdiri di luar melalui interphone, dan hatinya begitu sedih.


“Oriella pergilah bermain, Ayah tahu apa yang harus dilakukan.” Bukan hanya Oriella yang mengkhawatirkan ibunya, ia pun mengkhawatirkan istrinya, tapi Ariella bersikeras menjaga jarak dengannya untuk membuatnya tidak lagi mengkhawatirkannya.

Danh Sách Chương:

Bạn đang đọc truyện trên website TruyenOnl.COM
BÌNH LUẬN THÀNH VIÊN
BÌNH LUẬN FACEBOOK