Gosip itu sangat menakutkan, Ariella pernah mengalaminya. Jika rekan-rekan di kantornya melihatnya duduk di mobil Presdir baru ketika datang untuk bekerja, dia khawatir semua jenis gosip itu dapat membunuhnya. Jadi ketika Carlson menyuruhnya duduk di mobilnya untuk pergi bekerja bersama, dia bahkan tidak berpikir dan langsung menggelengkan kepalanya untuk menolak.
Meskipun tidak menaiki mobil Carlson, tapi mereka tiba di kantor di waktu yang hampir bersamaan.
Ketika Ariella dan sekelompok orang sedang menunggu lift, Carlson juga sampai di lift khusus Presdir dengan dua asistennya. Dia tadinya ingin berpura-pura tidak melihatnya tapi dia merasa itu tidak sopan, jadi dia mengikuti sekelompok orang lainnya dengan sopan menyapa: “Presdir Carlson, selamat pagi!”
“Ya!” Carlson menjawab dengan acuh tak acuh, matanya melihat sekeliling sekilas lalu melangkah masuk ke dalam lift, meninggalkan kesan punggung dingin kepada semua orang.
Sikap dingin Carlson tidak merusak antusiasme semua orang, satu per satu sangat semangatnya membahas Presdir baru ini. Ariella tidak berpartisipasi dalam diskusi, tetapi dalam hatinya dia merasa sedikit lucu. Sikap memisahkan urusan pribadi dan pekerjaan milik Carlson benar-benar terlihat sangat jelas. Saat ini, dia teringat kalimat yang digunakan di internet untuk menggambarkan Carlson – pria yang pantang didekati.
Setelah masuk ke kantor, Ariella benar-benar tidak memikirkan masalahnya dengan Carlson, sepenuh hati mengabdikan diri pada pekerjaannya.
Baru-baru ini, Ariella dan beberapa rekan di divisi yang sama sedang sibuk mempersiapkan proyek penawaran untuk PT. Canics. Melihat bahwa deadline sudah dekat, pekerjaan Ariella juga masuk ke dalam kondisi tegang, ketika dia sibuk bekerja bahkan dia tidak punya waktu untuk makan siang.
Di kantor, Ariella terkenal karena gila kerja, sudah merupakan hal normal dia sibuk bekerja hingga tidak makan, tidak ada yang benar-benar peduli padanya. Tapi hari ini, ketika Ariella sibuk hingga lupa waktu dia menerima telepon dari Carlson. Ariella melihat ke sekeliling, akhirnya dengan berhati-hati mengangkat telepon: “Ada masalah?” Intinya adalah ketika berada di kantor jika tidak ada masalah maka jangan meneleponnya, jangan biarkan orang lain tahu hubungan di antara mereka.
Carlson tidak menyangka bahwa kalimat ini yang diucapkan Ariella pertama kali, terdiam sebentar kemudian berkata: “Pekerjaan memang penting, tetapi tidak boleh kelaparan.” Suaranya masih datar, tapi tidak sulit untuk mendengar sedikit nada kekhawatiran. Wajah Ariella memanas dan berkata: “Ya, aku tahu.”
Carlson di sisi lain sudah tidak berbicara lagi, Ariella juga tidak tahu harus berkata apa lagi, dia menutup telepon setelah mengucapkan selamat tinggal.
Saat itu, Carlson kembali berbicara lagi di saat terakhir: “Aku berada di kamar 1808 di Restoran Lily.”
Ariella secara naluriah mengangguk: “Kalau begitu kamu makanlah, aku tidak akan mengganggumu.”
“Ariella!” Nada Carlson sangat jelas terdengar lebih keras, kemudian setelah beberapa detik kembali berkata, “Aku menunggumu.”
“Tidak perlu…” Ariella tadinya ingin menolak, tetapi dia tidak bisa mengucapkan kalimat penolakan, dan telepon itu telah ditutup. Melihat layar ponsel yang gelap, alis Ariella sedikit terangkat, akhirnya menghela nafas tanpa daya, dia punya alasan apa untuk menolak makan siang dengan suami yang beru menikah dengannya?
Restoran Lily adalah hotel bintang lima di dekat kantor, harganya sangat mahal, tentu saja Ariella jarang datang, kecuali ada jamuan pelanggan penting perusahaan. Ketika tiba di Restoran Lily, Ariella masih berpikir jangan sampai bertemu dengan orang yang dikenal, siapa sangka dia bertemu dengan asisten khusus Carlson, Daiva. Ariella ingin berpura-pura tidak melihatnya, tetapi orang itu malah memanggilnya: “Nona Ariella, Presdir memintaku untuk menjemputmu.”
Ariella tersenyum dengan canggung, dengan cepat mengikuti langkah Daiva. Dia dan Carlson jelas-jelas adalah pasangan yang sah, tetapi sekarang mereka seperti sedang berselingkuh, benar-benar sangat canggung sehingga sulit untuk dijelaskan.
Ketika tiba di kamar 1808, Ariella kembali melihat asisten lain dari Carlson, Henry. Carlson mengambil inisiatif untuk bangkit dan membantu Ariella melepaskan jaketnya, menggantungnya di gantungan di samping, lalu menarik kursi untuk Ariella duduk, kemudian berkata: “Kak Daiva dan Henry sudah bekerja denganku selama bertahun-tahun, mereka juga tahu tentang kita.”
Ariella mengangguk, tidak berbicara, hanya memandang Daiva dan Henry.
Henry dan Daiva mengangguk dan tersenyum sopan padanya, tidak mengatakan apa pun, lalu mereka meninggalkan ruangan itu.
Carlson secara pribadi mengambil semangkuk sup dan menyerahkannya pada Ariella: “Dalam beberapa tahun terakhir, aku melakukan beberapa bisnis, jadi ada beberapa orang yang mengikuti di sampingku.” Mendengarkan Carlson berinisiatif untuk menjelaskan, hati Ariella sangat senang, tersenyum padanya: “Ya, aku bisa mengerti.”
Di pagi hari ada bibi pengurus rumah yang mengirimkan sarapan, dan di sampingnya ada pengikut seperti Henry dan Daiva yang memiliki kemampuan, latar belakang Carlson mungkin lebih rumit daripada yang dia pikirkan. Ariella tidak ingin menggali lebih dalam, lagipula dia sudah menyetujui menikah dengannya, dia hanya berpikir bahwa orang ini terlihat lumayan, dan lagi bukan karena latar belakang keluarganya.
Ariella tidak banyak bertanya, Carlson juga tidak banyak bicara, keduanya menikmati makan dalam diam. Selain itu Carlson sejak kecil sudah dididik untuk tidak berbicara selama makan, juga tidak terbiasa berbicara di meja makan. Makan siang ini kembali dilewati dengan sangat hening.
Ketika keduanya meletakkan sumpit mereka, Carlson kembali berkata dengan datar: “Lain kali walaupun sangat sibuk bekerja jangan lupa untuk makan.”
Ariella mengangguk: “Aku akan memperhatikannya.”
Mendengar Ariella yang menjawab dengan ala kadarnya, mata Carlson di balik kacamata berbingkai emas menggelap, tampak sangat tidak puas, kemudian kembali berkata: “Di kemudian hari makan siang bersamaku.”
Nada bicara Carlson sedikit semena-mena, tapi Ariella bukannya tidak menyukainya, dia mendongak dan tersenyum padanya: “Terima kasih atas perhatian Presdir, tapi …”
“Presdir?” Carlson mengerutkan alisnya, “Karena kamu memanggilku ‘Presdir’, jadi apa kamu ingin mendengar apa yang Presdir ini katakan padamu?”
Pria ini, dengan sangat cepat menggunakan statusnya untuk menekannya. Ariella bekerja keras selama 3 tahun di perusahaan ini, biasanya bisa dibilang merupakan orang yang waspada, tapi sekarang dia benar-benar tidak tahu bagaimana cara menghadapi Carlson.
Carlson mengambil kesempatan lalu kembali berbicara: “Kalau begitu sudah diputuskan.”
Ariella tida ingin ‘berkencan’ seperti ini dengan Carlson setiap siang, tapi juga tidak dapat menemukan alasan untuk menolaknya, jadi dia hanya bisa menganggukkan kepala menyetujuinya. Dia bahkan menemukan alasan yang amat sangat konyol untuk melarikan diri dari situ.
Melihat sosok Ariella yang terburu-buru melarikan diri, pandagan mata Carlson sedikit menggelap, ujung jari rampingnya tanpa sadar mengetuk meja dengan pelan, sepertinya sedang merencanakan sesuatu.
“Tuan Muda.” Seorang wanita yang tampaknya berusia sekitar 40-50 tahun mengetuk pintu dan menyela pikiran Carlson. Carlson mendongak dan melihat, pandangan matanya dingin: “Ada masalah?”
Wanita itu berkata: “Apakah makanan ini sesuai dengan selera Anda?”
Carlson memiliki sedikit penyakit suka kebersihan, hampir tidak makan di luar, tapi Restoran Lily ini merupakan bisnis di bawah namanya, kamar elegan bernomor 1808 ini juga dirancang khusus untuknya sesuai dengan selera kesukaannya, tentu saja makanannya juga ada orang yang menyiapkan secara khusus untuknya. Makanan Carlson sejak kecil hingga besar adalah tanggung jawab wanita itu, dia orang yang paling jelas tahu selera Carlson.
“Di kemudian hari setiap kali siapkan dua hidangan Sichuan, jangan terlalu pedas.” Carlson tidak menjawab, tetapi malah membuat sebuah perintah. Carlson menyukai makanan yang rasanya ringan, Ariella malah menyukai yang pedas, Ariella tidak memberitahu Carlson tapi Carlson mengetahuinya.