Ariella dapat mengerti apa yang dirasakan ayahnya pada saat itu, karena ia pernah merasakan rasa sakit hati yang sama.
Ariella pernah tertidur di meja operasi yang dingin, melihat anaknya yang dioperasi, tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa.
“Riella, kalau…….aku bilang kalau….tiba-tiba suatu hari ayah kembali ke sampingmu, tetapi mukanya sama sekali tidak bisa dikenali lagi, kamu bersedia mengenalinya gak?” Tiba-tiba, Ferdian menanyakan sebuah perumpamaan kepada Ariella.
“Ayah adalah ayah aku, tidak peduli dia mau menjadi seperti apa, ia tetap adalah ayahku.” Setelah mendengar pertanyaan ini. Ariella sama sekali tidak berpikir lagi, ia langsung menjawabnya secara spontan.
Tetapi ia tersadar kembali, ayahnya sudah meninggal, selamanya tidak akan bisa kembali ke sisinya lagi.
Ariella berguman sendiri: “Aku mana berani berpikir hal yang tidak mungkin terjadi, orang yang sudah meninggal dua puluhan tahun bagaimana bisa kembali ke sisiku.”
Ferdian tersenyum puas dan berkata: “Tidak peduli ayah masih bisa kembali atau tidak, tapi aku berpikir, kalau dia bisa mendengar pembahasan kita sekarang, dia pasti akan sangat bahagia.”
“Sudah, jangan ngomong hal yang tidak mungkin terjadi lagi. Ayo kita makan.” Mereka dua bersaudara sangat sulit menemukan waktu untuk makan bersama, Ariella tidak ingin karena dirinya sendiri ia merusak suasana hari ini.
Dia lalu memakan sayur yang ada di meja lalu berkata: “Jarang-jarang bisa mendapat kesempatan dimasakin oleh Tuan Ferdian, saya pasti harus makan yang banyak sampai kenyang, tidak boleh pulang sebelum kenyang.”
Melihat Ariella makan dengan bahagia, Ferdian juga merasa senang: “Kalau suka makan lebih banyak, aku kasih kamu jatah aku.”
Ariella tercengung: “Kak, bisakah kamu jangan seperti ini? Melihat kamu seperti ini, aku merasa ini bukan kamu, jangan buat aku khawatir.”
Ferdian menghela nafas lalu berkata: “Hanya karena sudah makin dewasa, keluarga aku cuman tinggal kamu seorang, aku hanya ingin menjagamu.”
“Maksud kamu, aku kurang peduli sama kamu, kamu berharap aku bisa lebih memedulikanmu.” Ariella berkata, urusan keluarganya saja tidak bisa ia selesaikan, Ferdian pasti terabaikan.
Dia seorang diri sudah begitu tua, pacar saja dia belum punya, setiap hari hidup sendirian pasti sangat tidak enak.
Terutama pada saat tidur di malam hari, semuanya sunyi senyap, rumah sebesar ini hanya ada dia seorang, mau bicara saja tidak ada lawan bicara, dia pasti sangat kesepian.
“Dasar anak ini, aku mengkhawatirkan kamu, kamu masih mau beradu apa dengan aku.” Ferdian melototi mata Ariella.
“Aku juga mengkhawatirkanmu.” Ariella mengedip-ngedipkan matanya, lalu tersenyum sendiri.
“Cepat makan, nanti dagingnya dingin sudah tidak enak lagi.” Ferdian melihat Ariella, seolah-olah ada begitu banyak hal yang ingin dibicarakan dengannya, tetapi tidak ada satu kata pun yang keluar dari mulutnya, terakhir ia hanya mengatakan,”Riella, selain Carlson, kakak kamu juga sangat mencintaimu.”
“Kak, kamu sebenarnya mau ngomong apa?” Ariella semakin lama makin merasa ada yang tidak beres dengan kakaknya, apa yang ia katakan hari ini semuanya aneh-aneh, ia juga tidak tahu kakaknya sedang memikirkan apa?
“Kak, apakah kamu jatuh sakit?” Ariella merasa, mungkin ia sakit, ia baru bisa mengatakan kata-kata yang tidak pernah ia ucapkan….
Ia menjulurkan tangannya dan memegang kening Ferdian, tangannya malah langsung dipukul Ferdian: “Kamu anak ini, aku bicara baik-baik sama kamu, kamu malah menjadi gila begini.”
Ariella menyimpan balik tangannya yang masih sakit karena dipukul Ferdian, lalu berkata: “Kamu yakin kamu lagi bicara baik-baik denganku? Tapi aku lebih suka gaya kamu bicara sama aku yang dulu.”
Abangnya ini jarang sekali begitu baik padanya, tiba-tiba menjadi begitu baik padanya, lalu mengatakan kata-kata yang membuat orang khawatir, Ariella pasti menjadi khawatir.
“Cepat makan, abis makan cepat pulang, kalau enggak nanti Direktur Carlsonmu akan mencariku.” Orang ini agak sensitif, Ferdian harus cepat membiarkan Ariella Pulang.
……….
Setelah pulang dari rumah Ferdian, didalam kepalanya ia masih terus memikirkan ayah kandungnya.
Ia pernah melihat foto ayahnya, ayah dan kakaknya agak mirip, tapi ia merasa ayahnya lebih tampan dari kakaknya, di bagian alis ayahnya terlihat lebih berkharisma.
Laki-laki yang begitu tampan, beriman dan berprinsip seperti ini, kalau saja dia adalah ibunya saat itu, hatinya juga pasti akan tergerak olehnya.
Ketika berpikir sampai kesana, Ariella tertawa sendiri………sepertinya selera dia dengan ibunya hampir sama, teringat tahun itu saat ibunya melihat Carlson, ibunya juga sangat menyukainya.
Teringat tentang ayah dan ibunya, Ariella otomatis juga teringat dengan orang dan kejadian yang terjadi di Kyoto, ia juga mengingat Puspita yang belum ia jumpai disaat kehidupannya mulai membaik.
Kali itu ketika ia bertemu dengan Puspita, Puspita sedang hamil kira-kira tiga bulan, kalau dihitung-hitung, anaknya harusnya sudah lima enam bulan, perutnya harusnya juga sudah sangat ketara.
Teringat Puspita, Ariella mengambil teleponnya dan menghubungi dia, baru menelepon beberapa saat teleponnya sudah diangkat: “Riella?”
“Puspita, ini aku.” Setelah mendengar suara Puspita, Ariella merasa sangat akrab, sangat hangat, tanpa ia sadari, alisnya diwarnai dengan senyuman hangat.
“Aku tahu ini kamu, aku enggak buta enggak bodoh.” suara Puspita didalam telepon masih sangat keras dan bersemangat, sudah hampir satu tahun masih saja tidak berubah sama sekali.
Ariella masih sangat terbiasa dengan suaranya, tertawa, lalu bertanya: “Pekerjaan Gusti di Amerika lancar kan.”
Puspita berkata: “Laki-laki rumah kamu tidak memberikan dia pekerjaan yang rumit, tiap hari tepat waktu kerja dan pulang kerja, enak sekali.”
Ariella bertanya lagi: “Anakmu bagaimana? Ada tendang-tendang kamu gak?”
Mengungkit tentang anaknya, Puspita mengeraskan suara tenggorokannya: “Bicara tentang anak brandal ini aku langsung emosi, ia baru saja menendang dengan dua kaki. Dia sekarang ini terus menindas aku, tunggu dia lahir keluar, lihat aku gimana membereskannya.”
“Anak brandal? Emang udah pasti anak laki-laki? “Ariella tertawa, lalu berkata, “Tunggu sampai kamu melahirkan dia, kamu pasti tidak rela membereskannya lagi.”
“Iya, kemarin lusa baru pergi cek, benar anak laki-laki.” Membahas sampai disini, Puspita langsung tertawa, “Anak keluarga aku laki-laki. Meskipun lebih kecil beberapa tahun dari Riella kecil, kedepan dia masih bisa mengejar putri keluarga kalian.”
“Puspita, sebenarnya, aku lebih setuju Riella kecil keluarga aku bersama dengan laki-laki yang lebih besar darinya, nanti baru ada orang yang menjaganya, kamu lihat anak kalian lebih kecil dari Riella kecil empat sampai lima tahun, tidak bagus tidak bagus.”
Demi putri keluarganya sendiri, Ariella tidak takut menyakitkan hati sahabatnya sendiri, lagian Puspita juga tidak mungkin sakit hati.
Puspita belum sempat berbicara, Ariella lalu berkata: “Riella kecil keluarga kita tidak boleh, tapi aku masih bisa melahirkan adik kecil untuk Riella kecil, nanti aku kasih anak keluarga kamu mengejar adiknya Riella kecil saja.”
Setelah mendengar Ariella masih mau melahirkan adik kecil untuk Riella kecil, Puspita masih gembira dan bertanya dengan suara keras: “Ariella, kamu sudah punya?”