“Nak, taruh saja barangmu itu di sini, temani aku jalan-jalan.” Kata ibu Carlson yang telah berjalan mendahuluiku.
Ariella menatap tangannya sendiri, ternyata tangannya masih menjinjing dua tas besar, benar-benar terlihat seperti seorang pesuruh.
Ibu Carlson pasti benar-benar menyangka dia adalah pelayan karena melihat hal ini.
Ariella mencari tempat untuk menaruh barangnya, lalu berjalan mengikuti ibu Carlson, sambil mendengarkannya bicara, “Nak, sudah berapa lama kau di sini?”
“Dua tiga hari.” Yang Ariella katakan itu benar, dia benar-benar baru datang ke tempat ini sekitar dua sampai tiga hari, ia sama sekali tidak mengenal tempat ini.
“Begitu ya.” Ibu Carlson tersenyum lembut dan berkata, “Kakek, tuan, tuan kecil dan nona, semuanya adalah orang yang ramah. Kalau kau sudah bekerja di keluarga kami, maka kau adalah bagian dari keluarga ini, selanjutnya jangan terlalu sungkan.”
Ariella ingin sekali mengatakan, “Ibu Carlson, aku bukan datang ke rumah ini untuk bekerja, aku ini istri anakmu.”
Tapi ia tidak bisa mengatakannya.
Carlson bahkan tidak membicarakan rencananya yang ingin menikah kepada orang tuanya, kenapa dia yang mengatakannya.
Sambil berjalan, ibu Carlson menghela napas panjang, “Efa tidak ada, di rumah terasa sepi. Aku juga tak tahu ke mana ia pergi?”
“Guk guk…” Baru saja Ariella hendak mengatakan sesuatu tentang Efa, Mianmian menyalak menghentikannya.
“Mianmian, jangan sembarang menggonggong, di sini semua orang adalah orang sendiri.” Ariella menggendong Mianmian, mengelus-elus menenangkannya.
Tinggal di sini selama beberapa hari, Ariella bisa merasakan Mianmian tidak nyaman, dirinya selalu dalam kondisi siaga.
“Ini peliharaan yang kau rawat?” tanya ibu Carlson tersenyum, “Lucunya.”
“Iya. Ia sangat lucu dan pengertian.” Ariella menatap ibu Carlson, lalu mengulum senyum, “Ibu Carlson, Anda mau mengelusnya?”
Ibu Carlson?
Mendengar panggilan itu, Ibu Carlson terdiam sejenak, ia hanya terus memandangi Ariella…
Anak ini masih muda dan cantik, cara bicaranya juga lembut, wajahnya gampang memerah, berbeda sekali dengan karakter anaknya, Efa.
Tapi, melihatnya membuat orang tertarik.
“Aku boleh memegangnya?” Wajah ibu Carlson terlihat bersemangat, ekspresinya seperti anak kecil.
“Tentu saja boleh.” Ariella menggendong Mian mian dan mendekati ibu Carlson, ibu Carlson mengulurkan tangan dan mengusap-usap kepala Mianmian.
Mianmian sangat mengerti kondisi, ia menaikkan kepalanya menyentuh tangan ibu Carlson, lalu menggonggong kecil dengan suara lucu.
“Aku boleh menggendongnya?” Ekspresi Mianmian yang sangat pengertian itu lucu, ibu Carlson tak tahan hingga ingin menggendongnya.
Ariella menyerahkan Mianmian kepada ibu Carlson. Sebenarnya ia ingin menyuruh Mianmian memanggilnya ‘Nenek’, tapi rasanya ada yang salah, dia bahkan belum mendapat pengakuan dari keluarga Carlson.
Ibu Carlson menggendong Mianmian, lalu menghela napas, “Sebenarnya hewan kecil seperti ini sangat lucu, aku selalu ingin merawatnya. Tapi karena ada yang mengidap mysophobia, akhirnya kami tidak pernah sekalipun merawat hewan kecil seperti ini.”
“Jadi Carlson sungguh-sungguh mengidap mysophobia dan tidak ingin merawat hewan ya?” Ketika pertama kali pelayan rumah itu mengatakannya, Ariella tidak terlalu percaya. Sekarang ketika mendengar Ibu Carlson mengatakan hal yang sama, barulah Ariella memikirkannya.
Dia teringat akan kali pertama ia membawa Mianmian pulang ke rumah Carlson, hari itu wajah Carlson sangat tidak senang, ia tidak mau menyentuh Mianmian. Baru setelah itu hubungannya dan Mianmian pelan-pelan berubah.
Awalnya ia kira menerima Mianmian adalah hal yang mudah bagi Carlson, ia tidak tahu kalau Carlson telah berkorban besar dan berusaha keras untuk menerima Mianmian.
“Ma…”
Suara Carlson yang rendah dan seksi itu tiba-tiba terdengar, Ariella menoleh untuk melihatnya, dilihatnya ia yang mengenakan setelan abu-abunya tengah berjalan ke arah mereka dengan langkah kaki besar.
Ia berjalan dengan cepat, namun setiap langkahnya tetap terkesan elegan.
“Abraham sudah pulang.” Mata ibu Carlson dipenuhi senyuman, perasaan kosong yang barusan sudah hilang dari matanya.
“Ya, sudah.” Carlson maju dan memeluk ibunya, setelah itu barulah ia menatap Ariella yang berdiri di sebelahnya, “Apa yang sedang kalian bicarakan?”
Melihat Ariella dan ibu Carlson sedang bersama-sama, Carlson spontan mengira mereka telah saling mengenal, ia lupa bahwa dirinya tidak pernah mengenalkan Ariella kepada ibu dan keluarga lainnya.
“Sejak kapan kau ‘kepo’ seperti ini?” Sorot matanya memperhatikan kedua orang itu, lalu usil berkata, “Kau pasti tertarik dengan kecantikan anak ini bukan?”
Beberapa hari yang lalu ketika ibu Carlson menerima telepon dari Efa yang mengatakan bahwa kakaknya membawa seorang wanita ke rumah, ia menjadi khawatir.
Efa mengatakannya dengan berlebihan, ibu Carlson juga sudah tahu kalau anaknya itu sering membesar-besarkan sesuatu, karena itu ia tidak terlalu menghiraukan perkataan Efa. Ia tak menyangka bahwa Carlson punya pacar, bahkan telah menandatangani surat nikah dengannya.
Carlson berjalan ke sisi Ariella, lalu merangkulnya, “Ma, ini adalah Ariella, kami sudah menandatangani surat nikah, dia adalah menantumu.”
Mendengar bahwa anak lelakinya telah menikah, ibu Carlson segera melihat Ariella, matanya terpaku pada Ariella.
Sorot matanya berbeda dengan mata yang barusan melihat seorang asing dengan polos, kali ini ia sedang menilai Ariella dengan teliti, sekali lagi ia melihat Ariella dari atas sampai ke bawah.
Sejujurnya, sebelum ini ia sudah pernah membayangkan tipe gadis yang mungkin disukai anak laki-lakinya itu, yang seksi, yang polos, yang cantik…
Dia telah memikirkannya berkali-kali di waktu senggangnya, di antaranya memang sempat terpikirkan tipe seperti Ariella ini, yang cantik dan lembut, manis dan menarik, tapi ia benar-benar tak menyangka kalau anaknya benar-benar memilih menikahi tipe yang ini.
Dia menilai Ariella dengan serius, lalu ia menatap Ariella dan tak menemukan sedikitpun cacat cela, seketika itu pula ia mengerti mengapa anaknya membuat pilihan ini.
Hal besar seperti menikah ini bahkan Carlson tidak mengatakannya pada keluarga, ibu Carlson tidak heran. Karena anak lelakinya ini memang selalu mengambil keputusan sendiri.
Ketika Aces baru diserahkan padanya, ia pernah meminta masukan dari kakek dan ayahnya, tapi mereka menyerahkan semua keputusan ke dalam tangannya.
Mungkin karena itu pula, seluruh keputusan yang perlu diambil oleh Carlson diputuskannya sendiri, tidak pernah meminta pendapat dari keluarga lagi.
Ia melihat Ariella lagi, lalu menatap Carlson, melihat sorot matanya yang begitu lembut ketika menatap Ariella, ibu Carlson hanya bisa tersenyum, “Ya, baik, akhirnya anak lelakiku menikah. Hal baik seperti ini harus kita rayakan.”
Ariella sama sekali tak menyangka, ibu Carlson semudah itu menerima kabar pernikahan Carlson, hatinya sangat terkaget-kaget.
Melihat Ariella yang tercengang kaget, Carlson mengusap kepalanya dengan lembut, “Cepat panggil dia.”
Ariella kembali tersadar, lalu memanggil dengan wajah merah, “Ma, salam kenal.”
“Anak baik, anak baik…” ibu Carlson mengangguk-angguk, hatinya penuh sukacita.