Setiap kali pesan dari Ariella masuk, Carlson selalu secepat mungkin membacanya, tapi setiap kali membacanya setiap kali pula ia kecewa.
Ariella begitu kekeuh menyiksanya, ia hanya memintanya mengembalikan Oriella. Jadi bila ia mengembalikan Oriella, maka seumur hidup Ariella tidak akan mencarinya lagi.
Carlson menggenggam ponselnya dengan erat sambil berusaha menekan amarah dan kepahitannya sendiri, dan sambil menenangkan dirinya sendiri?? Perempuan bodoh itu, Ariella, sampai kapan ia baru akan menyerah?
“Ayah??” Oriella mengkhawatirkan ibunya, khawatir hingga hampir menangis.
Ia tak mengerti mengapa ayahnya tidak membukakan pintu untuk ibunya, sementara ibunya sedang berdiri di tengah turunnya salju. Bagaimana kalau ibunya mati membeku?
Kalau ibunya membeku, maka ia akan menjadi anak piatu, ia pasti akan sangat sedih.
“Ayah, Oriella mau Ibu!” kata Oriella sambil memelas.
Carlson tidak memedulikan Oriella, pandangannya mengarah ke luar jendela, ia terus menatap Ariella yang berdiri di atas tanah bersalju.
Bunga es masih terus berjatuhan, dan karena sudah berdiri cukup lama, mulai terlihat selapis berwarna putih di atas rambut Ariella.
Semakin melihatnya Carlson semakin marah, tapi yang lebih banyak adalah rasa sakit hatinya.
Ia adalah seorang wanita, sedang hamil pula, mengapa ia masih menggugatnya?
Kalau memang ia dan anaknya ada masalah, yang paling sakit hati tentu saja Carlson.
Asalkan Carlson memberitahunya bahwa entah ia setuju atau tidak, seumur hidup ia adalah wanita Carlson, jangan berpikir untuk meninggalkannya.
Asalkan ia mengatakan itu saja sudah cukup!
Peduli apa dengan hal lain?
Begitu memikirkan hal ini, tanpa sadar Carlson membuka pintu, dalam beberapa langkah ia menghambur ke Ariella. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia segera memeluk pinggangnya dan menuntunnya masuk.
Matilah, matilah!
Perut wanita ini sudah membesar, tapi berat badannya sangat mengerikan. Ketika ia memeluk pinggangnya, ia hampir tak dapat merasakan berat badannya.
Bukankah setiap hari ia makan dengan baik?
Mengapa bisa sekurus ini?
Salahnya tidak mengurus diri baik-baik, di saat yang sama juga salahkan diriku sendiri yang membuatnya bersikap kasar.
Meskipun telah memasuki rumah yang dilengkapi dengan pemanas ruangan, Carlson tetap tidak melepaskan Ariella, bahkan tanpa sadar ia memeluknya semakin erat.
Tenaga Carlson sangat kuat, ia merengkuh Ariella ke dalam pelukannya erat-erat, suhu badannya sedikit demi sedikit mengalir ke tubuh Ariella.
Ariella menggerak-gerakkan badannya ingin melepaskan diri dari pelukan Carlson, tapi sejujurnya ia sangat merindukan kehangatan yang diberikan Carlson padanya, di sisi lain Carlson juga masih tetap memeluknya.
Biarkan ia mengikuti keinginannya sebentar lagi, biarkan ia merindukan kehangatan lelaki ini, biarkan ia menikmati rasanya dipeluk oleh pria ini sekali lagi.
Carlson merengkuhnya tanpa berkata apa-apan, Ariella juga tak mengatakan apapun. Kedua orang itu begitu serasi, seakan-akan waktu berhenti sejenak saat mereka tengah melepas rindu seperti ini.
Dikatakan kehangatan yang sesaat, karena masih terlalu banyak hal yang belum diselesaikan di antara mereka. Hati mereka berdua jelas-jelas sangat dekat, tapi mereka justru menjaga jarak sejauh-jauhnya. Paradoks.
Setelah beberapa saat, Ariella mengangkat kepalanya dari pelukan Carlson, Carlson juga melepaskannya perlahan, nada bicaranya kembali tenang seperti hari-hari yang lalu, “Katakanlah, apa yang ingin kau katakan padaku?”
Rumah ini sedang memasang pemanas ruangan, dan memang cukup hangat, tapi entah mengapa Ariella kembali merasa tubuhnya seperti berada di bawah turunnya salju setelah melepaskan diri dari pelukan Carlson, ia tidak lagi merasakan kehangatan.
Tubuhnya yang tadi hangat seketika terasa seperti membeku, ditambah lagi hatinya yang saat ini juga sedang beku karena sakit hati.
Perlahan-lahan ia mengangkat matanya dan menatap Carlson, lalu berkata dengan hati-hati, “Carl, Carlson, aku datang bukan untuk berebut Oriella denganmu??”
“Jangan basa-basi, langsung saja katakan tujuanmu.” Diam-diam Carlson bernapas lega. Ia sibuk menenangkan dirinya sendiri dan mendengarkan dengan seksama apa yang akan dikatakannya.
Ariella menunduk sejenak lalu berkata, “Aku hanya ingin memberitahumu bahwa Albi meneleponku??”
“Apa? Albi meneleponmu? Bagaimana dia bisa tahu nomormu? Lalu apa kau mengangkatnya?” Begitu mendengar nama Albi, emosi Carlson meledak.
Begitu Carlson meledak, Ariella tak punya pegangan lagi, ia hanya ingin kabur, tapi Carlson tidak membiarkannya lari, “Ariella, aku sedang bertanya padamu, jawab!”
Kali ini, dia tidak mengizinkannya berlindung, bagaimanapun juga ia akan membuatnya berbicara.
“Carlson, dengarkan aku sampai selesai.” Rasanya gendang telinga Ariella hampir pecah karena teriakan Carlson, aura marahnya sangat besar sehingga suaranya pun ikut membesar.
Begitu emosi Ariella naik, Carlson sudah jauh lebih tenang. Ia tidak berkata apa-apa lagi, hanya menunggu Ariella berbicara.
Ariella menggigit bibirnya, lalu berkata, “Aku juga tak tahu bagaimana Albi bisa mendapatkan nomor teleponku. Yang kutahu adalah hatinya masih tidak terima, ia mungkin akan melakukan sesuatu yang membahayakan dirimu.”
“Dia meneleponmu untuk memberitahumu bahwa ia akan melakukan hal yang tidak baik padaku? Benarkah begitu, Ariella? Hm?” Tiba-tiba Carlson tertawa terbahak-bahak.
Albi sampai menelepon Ariella hanya untuk memberitahunya bahwa ia akan melakukan sesuatu pada Carlson. Carlson yang mendengarnya tak terlalu percaya bahwa Albi sebodoh itu.
“Ya??bukan??” Ini hanya perkiraan Ariella saja, dia menelan ludah, lalu mengatur ulang kata-katanya, “Albi tidak mengatakannya secara langsung, aku hanya menebak saja kalau ia akan melakukan sesuatu yang tak baik padamu.”
“Kau berusaha mencariku karena mengkhawatirkanku, benar bukan Ariella?” Saat mengatakan hal ini, Carlson terlihat sangat tenang, tapi diam-diam ia menelan ludah, kedua tangannya yang tergantung di sisi tubuhnya mengepal.
Setiap gerakan Carlson merefleksikan dirinya, dari luar ia terlihat seperti sangat tenang, tapi sebenarnya ia sedang gugup.
Ia menahan napas sambil menantikan jawaban Ariella, asalkan Ariella mengakuinya, pisau berapi di depannya pun tak berarti apa-apa.
“Ya, aku takut ia akan melukaimu, karena itu aku harus bertemu denganmu. Carlson, aku tidak ingin kau terkena masalah, aku hanya ingin kau baik-baik saja.” Tidak peduli berapa sering ia melukai hati Ariella, Ariella tetap tak bisa menyalahkannya. Asalkan ia baik-baik saja sudah cukup.
Dia bilang iya!
Barusan dia bilang iya!
Barusan yang dikatakannya adalah iya!
Setelah mengingat kembali jawaban Ariella, tiba-tiba Carlson tersenyum. Bukan senyum yang dingin, juga buka senyum mencibir, melainkan menampilkan senyum cerah yang berasal dari hati.
Senyum itulah senyum terindah yang pernah dilihat Ariella. Dibandingkan dengan senyumnya yang barusan ini, senyumnya yang sebelum-sebelumnya tidak berarti apa-apa.
Dia berkata, “Ariella, kalau begitu apa kau tidak tahu, kalau kau tidak di sampingku, hatiku terasa kosong.”
Ketika hati seseorang telah kosong, yang dilakukannya adalah membicarakannya baik-baik.
Sebaliknya, asalkan Ariella ada di sisinya, dia memiliki kekuatan baru. Bahkan seandainya ia mendapatkan masalah yang berat dan banyak, tak masalah, karena di sisinya ada Ariella.