“Ketika kami menikah, tidak ada hubungannya dengan cinta……lagipula, kita semua sudah dewasa, dia juga tidak memaksaku untuk menikah dengannya, semua adalah keputusanku sendiri. Aku yang menyukai dirinya, hubungannya apa dengan dia ngga kasih tahu aku tentang latar belakang keluarganya? Saat itu aku juga punya banyak yang ngga jujur padanya, tapi dia ngomong ke aku, masa lalu aku tidak ada hubungan dengannya, dia hanya memikirkan masa depan kami.”
Masalah ini tanpa harus berpikir, ia dapat berbicaranya dengan lancar.
Sejak awal ia setuju menikah dengan Carlson, itu adalah pilihannya, Carlson sama sekali tidak memaksanya.
Mereka sudah menikah lumayan lama, Riella kecil sudah berumur empat tahun, bahkan ia sedang hamil anak kedua, bagaimanapun ia tidak mungkin tetap terus menyalahkan Carlson karena tidak berbicara jujur tentang latar belakang keluarganya kan?
“Kamu memang tidak memberitahunya, tapi dia bisa menyuruh orang untuk memeriksamu dengan sangat jelas……Kalau tidak, bagaimana mungkin ia dengan mudahnya akan menikahimu?” Semakin Ariella melindungi Carlson, Ferdian semakin marah.
Ferdian berbicara dengan sangat kencang, Ariella membalasnya lebih kencang lagi: “Kalau aku Carlson, dan bagian dari keluarga Aces, aku juga akan mengeceknya.”
“Ok, kalau gitu kita ngga ngomongin masalah yang sudah berlalu, kita ngomongin masalah sekarang. Perusahaan PM sudah dibeli oleh Aces, Carlson adalah pemilik dari perusahaan itu, masalah ini dia ada ngomong ke kamu?” Ferdian emosi hingga gemetaran, tetapi ia juga tidak bisa membantah omongan Ariella karena orang biasa pun akan pergi mengeceknya.
Perusahan PM juga dibeli oleh Aces?
Carlson adalah pemilik dari Perusahan PM?
Bagaimana mungkin??
Melihat wajah Ariella yang terkejut, Ferdian tahu bahwa Carlson pasti tidak memberitahu masalah ini kepada Ariella, Ariella sama sekali tidak tahu masalah ini.
Kalau bukan karena Albi membicarakan masalah ini, ia bahkan tidak tahu Carlson menyebunyikan masalah ini dari Ariella.
Dia lanjut berkata: “Selain masalah pekerjaan ini, masalah kehidupan, apakah kamu benar-benar mengertinya?”
Ariella masih tetap membela Carlson: “Dia membeli Perusahaan PM pasti karena aku. Dia tahu aku menyukai design, jadi……”
“Ariella, cukup!” Ferdian menendang meja lalu dengan marah berteriak, “Jangan terus membelanya.”
Ariella terkejut hingga gemetar, dia ingin membantah, tetapi ia tidak tahu harus membantah apa kepada Ferdian, hanya bisa menatap Ferdian.
“Aku sudah bilang, aku akan kasih tahu kamu semua yang aku ketahui, mau ngapain itu adalah pilihanmu. Kamu ngga percaya kalau Carlson yang membunuh ayah kita, tetap mau hidup bersamanya, yah silahkan, aku tidak akan melarang. Aku tidak akan menyalahkanmu……” Hanya saja mungkin ia tidak akan pernah menemuinya lagi karena perasaan yang tidak nyaman.
“Kak, aku……”
“Pergilah. Biarin aku tenangin diri dulu.” Ferdian memerintah dan menunjuk kearah pintu.
“Kak, percaya aku sekali, Carlson ngga mungkin……”
“Dia ngga mungkin, jadi maksud kamu aku memfitnahnya? Ayah berbohong?”
“Aku……”
“Ariella, sadarlah. Mungkin yang ditunjukkan Carlson kepadamu hanyalah sisi baiknya, sisi yang ia ngga tunjukkin, kamu juga tidak perlu mengerti, selamanya kamu juga tidak perlu melihatnya terlalu jelas.”
“Dia seberapa menyeramkannya, aku ngga tahu, mungkin suatu saat aku bisa melihat dengan jelas, tapi bisa jadi akhir hidupku berakhir seperti ayah. Aku bahkan ngga tahu nanti aku akan mati seperti apa.”
“Ngga, ngga mungkin, Carlson ngga akan berbuat seperti itu, dia ngga akan mungkin.” Ariella menggelengkan kepala lalu melangkah mundur.
Dia tidak dapat melihat jelas sifat asli Carlson, tetapi ia percaya Carlson, perhatian dan rasa sayang Carlson selama ini benar adanya.
Orang bisa berbohong, tetapi tatapan mata tidak mungkin berbohong.
Tatapan mata Carlson saat melihatnya sangat tulus dan lembur, bagaimana mungkin dia membohongi Ariella.
Lagipula, Ariella selain dirinya sendiri, ia tidak meiliki apapun yang berharga, untuk apa Carlson mencari asalan untuk membohonginya.
Dia seorang pemilik perusahaan terbesar, kaya, punya jabatan, wanita diluar sana banyak yang mengejarnya, dia ingin seperti apa tinggal pilih saja, kenapa ia harus memilih Ariella?
Dia memiliki segalanya, untuk apa ia membohongi orang yang tidak memiliki apapun?
Apakah hanya untuk bermain?
Apakah hanya merasa dia sangat bodoh?
Alasan ini tidak masuk akal, Carlson tidak mungkin sekurang kerjaan itu untuk menghabiskan waktu dan tenaga kepada seseorang yang tidak ia peduli.
Dia sibuk setiap harinya hingga larut malam, dia tidak punya waktu untuk melakukan hal membosankan seperti itu.
Tetapi kalau bukan Carlson, kenapa ayah berbicara seperti itu sebelum kepergiannya?
Orang lain bisa berbohong, tetapi tidak dengan ayahnya.
“Kalau suatu saat……” berbicara setengah, Ferdian lalu mengalihkan topik, “ngga peduli apa keputusan kamu, kamu adalah anak yang paling dikhawatirkan oleh ayah, dan juga adik aku.”
“Kak!”
“Pergilah.” Ferdian melambaikan tangan, lalu balik kekamar dan menutup pintu dengan keras, tak ingin lagi menghiraukan Ariella.
Dia khawatir jika dia masih terus berbicara dengan Ariella, ia akan berbicara kata-kata yang diluar kendalinya, bahkan memaksa Ariella untuk melakukan sesuatu yang tidak ingin ia lakukan.
“Kak……”
“Pergi! Aku bilang pergi!” Jangan memaksanya lagi, jangan membiarkannya melihat Ariella lagi.
“Kita sama-sama……”
“PERGI!”
“Kalau begitu, aku pergi dulu.” Ferdian bisa seperti ini, Ariella bisa mengerti.
Perkataan terakhir ayahnya tidak mungkin bohong.
Jadi masalah yang muncul ada pada pelakunya, atau seperti yang dipikirannya, pelaku berpura-pura menjadi Carlson sehingga ayah mengira Carlson adalah orang jahat.
Ariella berdiri, kedua kakinya lemas tak bertenaga, lalu ia kembali duduk dikursi.
Perutnya tidak enak, mulai merasa sakit.
Perutnya sangat sakit!
Anak!
Kepikiran anaknya, Ariella panik.
Tidak boleh, ia tidak boleh membiarkan anaknya terjadi sesuatu, ia harus segera ke rumah sakit.
“Kak, aku tidak enak badan, kamu temenin aku yuk.” Dia ingin meminta tolong Ferdian untuk mengantarnya, tetapi bagaimanapun ia berteriak, Ferdian tidak memperdulikannya.
Ariella hanya bisa memaksakan diri untuk turun kebawah dan memanggil taksi.
Dia sangat sial karena begitu lift sampai dilantai satu, ia menabrak seorang pria ketika beigtu keluar dari pintu lift.
Dia baru saja ingin meminta maaf, tetapi begitu ia mendongakan kepala, ia menarik kembali kata “maaf”, lalu pergi begitu saja.
Henry dengan cepat menariknya: “Kenapa? Sudah menabrak aku tidak tahu minta maaf, terus mau pergi gitu saja.”
“Lepasin aku!” Ferdian ingin menghempasnya, tetapi ia tidak memiliki tenaga.
“Kamu kenapa? Ada yang sakit?” Melihat wajah Ariella yang pucat dan keringatan, tatapan mata Henry memancarkan tatapan mata yang khawatir.
“Lepasin aku……” Belum selesai Ariella berbicara, ia merasakan kepalanya pusing, Henry yang berdiri didepannya berubah dari satu menjadi banyak bahkan bergoyang, lalu ia tak lagi melihat apapun.