Sejak awal kesan ibu Carlson terhadap Ariella memang sangat baik, ditambah lagi dengan fakta bahwa Ariella adalah menantunya, dia yang sangat mencintai anak lelakinya itu tentu saja akan otomatis menyukai menantunya.
“Ariella, soal barusan, aku ingin minta maaf padamu.” Kata ibu Carlson.
Ia yang tadinya mengira menantunya sendiri adalah pelayan rumahnya, ibu Carlson sedikit merasa tidak enak. Meskipun ia adalah orang tua, tentu saja tetap harus minta maaf.
Ariella menggeleng, “Tidak apa.”
“Soal apa?” Carlson penasaran dengan apa yang terjadi di antara mereka, tapi mereka menggeleng di saat bersamaan, tak ada yang berniat untuk menjelaskan padanya.
Pekerjaan Carlson awalnya besok baru dapat diselesaikan, tapi sore harinya ia menerima telepon bahwa keluarganya telah tiba lebih awal di Pasirbumi.
Mengenai pernikahannya dengan Ariella, dia memang belum memberitahu keluarganya, tentu saja keluarganya tidak tahu keberadaan Ariella.
Kalau membiarkan mereka bertemu lebih awal, bisa dibayangkan betapa canggungnya Ariella. Memikirkan hal itu, akhirnya ia memutuskan untuk kembali lebih awal.
Carlson juga sangat mengenal sifat ibunya, asalkan orang itu adalah istri yang dipilihnya, ibu pasti tidak keberatan.
Tapi meskipun hatinya sudah tahu, begitu ia melihat dengan mata sendiri bahwa ibunya menyetujuinya dengan Ariella, dalam hatinya tak urung berbahagia, tanpa terasa tangannya semakin erat merangkul Ariella.
“Rasanya ayahmu ada di ruang baca sekarang dan sedang membereskan barang, suruh orang untuk menyuruhnya ke bawah, kita beritahu hal bahagia ini padanya.” Kata ibu Carlson senang.
Carlson segera menyuruh orang untuk memanggil ayahnya ke bawah. Begitu ayah memasuki ruangan, Carlson segera menggandeng Ariella untuk memperkenalkannya secara resmi.
Dia berkata, “Pa, ini Ariella, istriku.”
Begitu mendengar kabar bahwa anak lelakinya menikah, ayahnya tidak menunjukkan reaksi kaget yang berlebihan, atau bisa dikatakan ia sudah terlalu kenal sifat anaknya yang satu ini, bahwa ia bisa tiba-tiba memberikan kabar yang mengagetkan orang.
Yang tak terpikirkan adalah, wanita seperti apa yang masuk dalam pandangan anaknya ini?
Karena itu, reaksi pertamanya sama dengan ibu Carlson, setelah Carlson memperkenalkannya matanya langsung beralih ke Ariella.
Pernikahan anaknya itu adalah fakta yang tak terelakkan lagi, mereka tidak mempersoalkan lagi apakah ia menikah atau tidak. Yang mereka persoalkan adalah pasangan anak laki-lakinya ini, apakah benar-benar mampu hidup bersama dengannya seumur hidup.
Pandangannya jatuh ke diri Ariella, ia memperhatikan dengan seksama, sambil menilai dan menimbang-nimbang.
Mereka tidak mempertimbangkan latar belakang wanita itu, karena keluarga Carlson tidak membutuhkan bantuan koneksi untuk memperkuat kekuasaan keluarga mereka.
Yang mereka persoalkan adalah apakah wanita itu sungguh-sungguh mau bersama dengan anak lelakinya sepenuh hati, yang mereka pikirkan adalah apakah kehidupan pernikahan anaknya akan bahagia.
Sejak kecil ia telah mengikuti ayahnya berkiprah dalam dunia bisnis, kemudian ia menyerahkan bisnisnya pada anaknya itu dan pergi berkeliling dunia dengan istrinya. Ia telah melihat banyak orang dan kejadian, bisa dikatakan ia telah sangat berpengalaman, jadi penilaiannya terhadap seseorang juga dapat dikatakan tepat.
Ariella yang berdiri di depan matanya itu terlihat polos, tercermin dari wajah dan sorot matanya, yang ia harapkan adalah mendapatkan persetujuan dari ayah Carlson dan menikmati hidup bersama Carlson.
Akhirnya ia menarik kembali pandangannya dan mengangguk, “Hm, pernikahan ini adalah pilihan kalian berdua, dengan begitu kalian harus jalankan sebaik-baiknya. Sebagai orang tua kalian, harapanku adalah melihat kalian bahagia.”
Saat itu ayah dan ibu Carlson jatuh cinta pada pandangan pertama, mereka berpacaran, hubungan mereka seringkali dipuji oleh banyak orang.
Sampai saat ini belasan tahun telah berlalu, melihat anak lelakinya dapat menemukan pasangan yang dapat menemaninya melewati badai hidup, tentu saja mereka senang.
Waktu ayah Carlson tengah menilai Ariella, Ariella sudah gugup dan tegang, telapak tangannya berkeringat dingin.
Sejujurnya, konsep ayah dalam pikirannya tidak terlalu bagus, karena alasan tertentu, pandangannya terhadap sosok ayah kurang tepat.
Ia takut ayah Carlson tidak akan menyetujui pernikahan ini, ia juga takut kalau ayahnya akan memaksa Carlson untuk meninggalkannya…
Sampai ketika ayahnya bersuara, barulah ia tahu, sebenarnya pada dasarnya seorang ayah dan ibu akan mempertimbangkan yang terbaik untuk anaknya, tidak ada seorangpun yang menjadikan anaknya sebagai alat yang dapat dimanfaatkan.
“Ariella…”
Suara yang rendah dan seksi itu kembali terdengar di telinganya, mengembalikan pikirannya, kemudian ia melanjutkan perkataannya, “Sudah waktunya kau panggil dia.”
“Pa, salam kenal!” Setelah bertahun-tahun ia tidak mengucapkan kata itu, lidahnya sedikit kelu, tapi hatinya sangat bahagia.
Dia selalu khawatir keluarga Carlson tak dapat menerimanya, sementara itu ternyata mereka menerimanya dengan cukup mudah, membuatnya cukup terkejut sekaligus tak menyangka.
“Hm, baik.” Ayah Carlson mengangguk.
Ibu Carlson kembali menarik tangan Ariella, membuka sebuah gelang di tangannya dan berkata, “Ini adalah milik nenek buyutnya nenek buyut Carlson, telah turun temurun diwariskan ke menantu keluarga Carlson, hari ini aku akan menurunkannya padamu.”
Mendengar ibu Carlson memberikan gelang yang begitu berharga kepada dirinya, tanpa sadar Ariella menoleh pada Carlson, melihatnya mengangguk, barulah ia menerimanya, “Terima kasih ma!”
Ibu Carlson memakaikannya sendiri ke tangannya, lalu memuji, “Hm, cantik sekali.”
“Ma, begitu melihat menantumu, kau langsung memberikan benda yang begitu berharga, kenapa kau tidak membawakan sesuatu untukku?”
Suara yang nyaring itu memecah suasana, terlihat Efa yang meloncat-loncat ke arah kami.
Efa berlari ke ibunya, dan menciumnya di pipinya, “Ma, sudah begitu lama kau tidak melihat Efa, apa tidak kangen?”
“Mimpi mama selalu tentang Efa.” Ibu Carlson mengusap kepala Efa, ia tersenyum dengan sangat lembut.
“Aku juga kangen pada mama.” Efa memeluk erat ibunya, lalu memeluk ayahnya, “Pa, kenapa kau tidak berkata apapun, apa kau tidak kangen Efa?”
“Efa sudah besar, begitu keluar rumah pasti beberapa bulan setelahnya baru kembali, aku tidak kangen dia.” Di hadapan Efa, ayah Carlson melepaskan wibawa seorang ayah yang keras, berubah menjadi seorang ayah yang memanjakan anak perempuannya.
“Papa benar-benar tidak kangen aku?” Mata Efa membulat, kalau kau berani berkata tidak rindu padaku, aku juga tidak akan rindu ekspresimu yang lucu.
“Kangen, tentu saja papa kangen Efa.” Ayah Carlson mengelus-elus kepala Efa, lalu tertawa lepas.
“Kurang lebih seperti ini.” Kata Efa terkekeh, lalu ia duduk di sana dan tidak bersuara, matanya hanya menatap ke istri Carlson.
Lalu ia berkata, “Kak, kau kangen padaku?”
“Di hadapan orang yang lebih tua kau harusnya bersikap sebagai orang muda, lihat dirimu sekarang?” wajah Carlson serius menatap Efa.
Melihat mereka sekeluarga, mendengar mereka sekeluarga…
Ariella sangat kagum dengan keluarga seperti ini, ayah ibu yang sangat mengasihi, keluarga yang sangat hangat.
Ariella sangat mengagumi Efa, mengaguminya yang berusia 18 tahun tapi masih bisa bermanja-manja di pelukan ayah ibunya.
Ketika dilihatnya dirinya, ketika kecil ia menghadapi perpecahan keluarga, ibunya sering dimarahi dan dipukul dan sering bersembunyi di kamarnya untuk menangis sendirian, dan ia tak dapat melakukan apapun.