Hanya sebuah makan malam, namun menghabiskan dua jam penuh hingga usai.
Setelah usai, semuanya kembali ke kamar untuk beristirahat, hanya Carlson yang beranjak menuju ruang baca, masih sibuk dengan urusan Aces.
Setelah menidurkan Riella kecil, Ariella juga beranjak menuju ruang baca, tanpa banyak bertanya, ia menghampiri Carlson dan membantu memijat bahunya.
Carlson menggenggam tangan Ariella lalu menciumnya dan berbisik.
“Kau sudah cukup lelah untuk hari ini, cepatlah beristirahat.”
Ariella menggelengkan kepalanya, “Aku tidak lelah. Lanjutkanlah pekerjaanmu, akan kutemani sebentar.”
Carlson yang berkerja meski sakit, mana mungkin Ariella tega meninggalkannya dan pergi beristirahat.
“Dasar kau, jangan limpahkan semua pekerjaan pada dirimu,” Carlson menariknya kepangkuan, mengetuk-ngetuk jidatnya, “Kau adalah istriku, aku menikahimu agar kau bisa menikmati kebahagiaan, bukan menyuruhmu menjadi pembantu bagi semua orang.”
“Aku menyukainya,” Ariella tersenyum sambil bersandar di dadanya.
Dapat melakukan hal apapun bagi keluarga ini, meski hanya sebuah hal kecil, itu sudah cukup membuatnya sangat bahagia.
Carlson tertawa ringan, “Lugunya!”
“Justru aku tidak lugu.” Jika ia lugu, ia tidak akan menikahi Carlson pada mulanya, melewatkan suami yang begitu hebat.
“Ohya? Benarkah?” Carlson memegang wajahnya, menundukan kepalanya lalu menciumnya perlahan.
Baru saja mendapati ciuman Carlson, wajah Ariella seketika memerah, entah mengapa, meski usia anaknya kini empat tahun, tetap saja ia masih mudah tersipu malu.
“Carlson, hentikan,” Ariella mendorongnya dan menoleh, tidak membiarkan Carlson menciumnya.
“Sungguh sebuah penyesalan,” kalimat yang tiba-tiba dilontarkan Carlson.
Carlson tidak dapat melihat, baginya tidak dapat melihat berbagai ekspresi senang ataupun marah seorang Ariella, tidak dapat menyaksikan Riella kecil bertumbuh dewasa setiap harinya adalah penyesalan utamanya.
“Penyesalan apa?” Ariella bertanya kebingungan.
“Penyesalan tidak dapat menemanimu dan anak kita di setiap menit dan detiknya,” Carlson mematikan laptopnya, memeluk pinggang Ariella, “Pekerjaan tidak lebih berharga dibandingkan istri dan anak.”
Maka ia kembali ke kamar menemani istri dan anaknya, biarkan bawahannya yang menyelesaikan soal pekerjaan.
“Turunkan aku, aku bisa jalan sendiri.”
“Aku ingin memelukmu.”
Mendengar jawaban Carlson, wajah Ariella kembali memerah.
Ariella dengan lembut mengaitkan lengannya pada leher Carlson, meletakkan wajahnya lalu mencium lembut Carlson.
“Carlson, matamu harus lekas sembuh. Kita sekeluarga harus selalu sebaik ini.”
“Pasti, kita pasti mampu terus baik seperti ini,” Carlson begitu yakin, tidak mengetahui ada jebakan yang sudah disiapkan dari jauh-jauh hari untuknya, menunggunya untuk terjebak dalam lubang yang sudah direncanakan.
Makan malam yang sedikit terlalu banyak, membuat Efa kehausan lalu turun ke bawah untuk membuat segelas jus, tidak sengaja melihat kakaknya yang kaku menggendong kakak iparnya kembali ke kamar.
Di hadapan istrinya, kakak yang dianggap Efa kaku, tidak kaku sedikit pun. Keduanya telah menikah sekian lama, Riella kecil pun sudah empat tahun, tetapi kakaknya dan kakak iparnya masih terlihat seperti pasangan baru, terlihat cinta yang kental dari tatapan keduanya.
Melihat mereka, tanpa sadar Efa membandingkan hubungan kakaknya dengan hubungannya bersama Darwin.
Darwin yang tidak perhatian, sehabis makan langsung kembali ke kamar untuk beristirahat, bahkan tidak sama sekali menegurnya.
Di hadapan semua orang ketika waktu makan, masih berkata ingin segera memiliki beberapa anak dengan Efa untuk diajak bermain, seketika berbeda dari biasanya.
Darwin dengan sikapnya sekarang, masih berharap Efa mau menikahinya. Itu hanyalah mimpi di siang bolong.
Teringat akan Darwin sebagai pria yang tidak memahami cara bersikap lembut, Efa pun kesal, menghentakan kakinya kembali ke atas, berjalan melewati kamar Darwin.
Juga tidak tahu, kira-kira apa yang sedang dilakukan si cuek?
Efa mendekatkan telinganya pada pintu, diam-diam menguping, namun tidak terdengar apa-apa dari balik kamar.
Apakah dia sudah tertidur dengan cepat?
Efa mengulurkan tangannya dan menggenggam gagang pintu, membukanya dengan perlahan, pintu yang tidak dikunci itu dapat dibuka dengan mudahnya.
Ia memasuki kamar dengan diam-diam, berencana mengejutkan Darwin, namun setelah masuk dan melihat ke dalam, tidak ada siapapun di kamar.
Efa masuk dan mencari ke seluruh sudut kamar, hampir saja mencari Darwin di bawah karpet kamar.
Menyebalkan!
Efa menendang tembok dengan kesal, ternyata Darwin sudah pergi diam-diam. Sudah larut malam pun masih pergi, entah apakah pergi berkencan dengan wanita gatal lain.
Lebih baik tidak usah muncul di hadapannya, atau Efa akan menghabisinya.
Efa kembali ke kamarnya dengan terengah, menendang pintu sambil membukanya dengan kasar, “Brengsek.”
Baru saja mengumpat, Efa menengok dan mendapati Darwin terlentang di ranjangnya dengan telanjang.
Benar-benar telanjang, tidak dilebih-lebihkan ?C karena hanya tersisa boxer di tubuhnya.
Meski Efa sudah pernah melihat Darwin yang tanpa sehelai benang pun, bahkan sampai memegangnya, namun entah mengapa, ketika melihat Darwin yang begitu “mempesona”, sekujur tubuh Efa memerah.
Ia mengalihkan wajahnya, berkata dengan terbata-bata, “Darwin, pakai dulu bajumu.”
“Bagian mana dari tubuhku yang belum pernah kau lihat?” Darwin merebahkan diri di sana, melambaikan tangannya “Yuk, tidur.”
“Kembalilah kekamarmu jika ingin tidur, aku ??” Efa panik hingga terbata tidak bisa berkata-kata, juga tidak kuat menahan dan diam-diam memalingkan wajahnya kembali dan diam-diam memandang Darwin.
Tubuh pria ini benar-benar bagus, mengikuti pelatihan militer jangka panjang, kulitnya terbakar hingga berwarna sawo matang, otot perutnya terbentuk sempurna, terlihat begitu indah.
“Aku sudah mengantuk, cepat tidur.” Darwin menguap dengan tidak sabar.
Pria ini datang ke kamar Efa, lalu berkata-kata seperti ini, apakah ingin Efa berburuk sangka atau apa? Mungkin ia ingin memperlakukan Efa seperti relasi pasangan lain pada umumnya.
Hanya dalam beberapa detik, emosi Efa berbalik seratus delapan puluh derajat, “Kalau begitu kau ??”
“Apalagi?” Darwin membalikkan tubuhnya, kaki jenjangnya tiba di sisi tubuh Efa, tanpa mampu bereaksi, Darwin sudah memeluknya.
Efa mendorongnya, “Darwin, apa yang kau lakukan?”
“Tidur!” ia memeluk erat Efa, seperti memeluk sebuah bantal, lalu merabanya dengan kuat, “Efa, mari kita lahirkan seorang anak.”
Menyuruh Efa untuk melahirkan anaknya, ini sikap yang salah, Efa tidak boleh dengan mudah menyetujuinya.
Efa membersihkan tenggorokannya, “Umurku baru 22 tahun, ini adalah tahun terbaik bagi seorang wanita. Ini adalah waktu dimana karirku akan cemerlang, apakah kau pikir aku akan dengan lugunya merelakkan pekerjaanku untuk menemanimu melahirkan seorang anak?”
Darwin sedikit kesal, “Kalau tidak mau, ya sudah tidur saja.”
Efa merengutkan bibirnya, dalam hati berkata, “Brengsek, tidak bisakah berusaha setidaknya untuk sekali saja?”
Efa begitu menyukai Darwin, jangankan melahirkan anaknya, merelakkan nyawanya pun ia rela. Apakah Darwin tidak menyadari semua itu?
Memikirkan lelaki gila ini, Efa menendangnya dengan kesal ?C brengsek!