Ketika Carlson menyalakan mobil dia dengan ringan mengangkat sudut mulutnya, tatapan matanya yang dingin itu tersenyum ringan, Ariella yang seperti itu barulah seperti dirinya yang tiga tahun yang lalu.
Mobil itu perlahan-lahan melaju keluar dari tempat parkir dan dengan cepat bergabung dengan lalu lintas kota yang bising, tetapi mobil itu begitu sunyi sampai-sampai nafas kedua orang itu pun terdengar agak keras.
Ariella duduk tegak, mata memandang ke luar jendela, sama sekali tidak berani menatap Carlson, tetapi tetap saja tidak bisa menahan diri untuk tidak meliriknya. Dia sangat serius ketika mengemudi, dia sama sekali tidak melirik kesamping, seolah-olah barusan tidak terjadi apa-apa. Ariella menyeringai, hatinya menggeram – pria yang acuh tak acuh!
Setengah jam kemudian, mobil berhenti di depan gedung yang sangat tinggi. Carlson melemparkan kunci mobil ke staf dan berjalan ke lobi bersama Ariella.
Gedung tinggi itu setinggi 69 lantai, ketika dibangun pernah menjadi gedung tertinggi se Asia,selama bertahun-tahun juga merupakan bangunan tertinggi di Kota Pasirbumi.
Gedung tinggi ini terletak di pusat komersial pusat Kota Pasirbumi, daerah ini banyak orang banyak mobil banyak gedung tinggi dan banyak, apalagi restoran di lantai atas gedung tinggi ini lebih terkenal lagi. Banyak turis asing datang ke sini menghabiskan tiket untuk duduk-duduk, memesan secangkir kopi dan duduk dengan tenang menikmati pemandangan indah Kota seberang yang diseberangi oleh Sungai Kota Pasirbumi.
Ariella sewaktu baru saja pindah ke Kota Pasirbumi pernah datang dengan Puspita, hanya tiket untuk masuk saja sudah habis berapa ratusan ribu, apalagi dengan harga makanan didalamnya. Tetapi bahkan meskipun sangat mahal, tapi pasti tetap ramai pengunjung setiap hari pasti ber-arus, seolah-olah itu tak ada hentinya.
Hari ini Ariella malah merasa agak aneh, sekarang belum jam delapan malam, tapi saat menunggu lift sudah tidak melihat satu orang lain pun. Disaat Ariella sedang memikirkannya, tangan itu digenggam oleh telapak tangan yang begitu hangat, Carlson mengenggam tangannya naik ke lift VIP dan langsung menuju lantai 69.
Tangannya benar-benar hangat, atau mungkin tangan Ariella yang benar-benar sangat dingin, disaat dia mengenggamnya seperti ini, Ariella sangat menikmati suhu yang dia berikan padanya.
Dia menoleh menatapnya dan tersenyum, “Carlson, apakah kamu mengundangku datang ke sini untuk makan?” Dia berdiri menghadap pintu lift, berdiri tegak, Ariella mengira dia tidak akan menjawabnya, tetapi dia mendengarnya berkata, “Ya.”
Itu hanya satu kata “Ya” yang enteng, tetapi Ariella malah merasa sudah cukup, dia tidak banyak bicara, dia bukan hari ini baru menyadarinya.
Tidak lama kemudian, lift sampai di lantai 69, tempat yang biasanya dipenuhi dengan, hari ini malah sangat sepi, kecuali staf tidak melihat ada orang lain.
Restoran LOVE dikelilingi oleh mawar dengan berbagai warna, dengan meja makan di tengah, mawar di atas meja makan berbentuk hati, dan lampu oranye-merah menyala, ditambah beberapa warna yang bervariasi.
“Tuan Carlson, Nyonya Ariella, silahkan!” Pelayan cantik itu datang menyambut dan mengucapkan kata-kata yang sopan, tetapi tatapan matanya sekilaspun tidak melihat Ariella. Tatapan mata pelayan itu hampir menempel diatas tubuh Carlson, sepertinya sama sekali dia tidak peduli pada Ariella yang ada disamping Carlson.
Ariella dari dalam hati diam-diam memikirkannya, wanita terlihat cantik adalah bencana, pria ini terlihat tampan malah membawa petaka! Ketika wanita ini memandang pria tampan, tatapannya bahkan lebih ketara daripada tatapan pria itu ketika melihat kecantikannya.
Carlson tiba-tiba berhenti dan dengan dingin melirik kearah pelayan: “Suruh kepala restoran kalian datang.”
Pelayan itu tersenyum: “Tuan Carlson, aku adalah kepala restoran ini.”
Carlson mengerutkan alis dan dengan suram berkata: “Restoran ini sudah waktunya untuk ganti kepala restoran.”
Senyum pelayan itu tiba-tiba menjadi tercengang, tetapi kualitas profesionalnya masih memakasnya untuk tersenyum dan berkata: “Tuan Carlson, Nyonya Ariella silahkan, aku akan panggin pelayan lain untuk datang.”
Setelah duduk, Ariella tidak bisa menahan tawa.
Carlson menatapnya dengan aneh: “Apa yang lucu?”
Ariella memaksakan dirinya untuk menahan tawanya dan menatapnya: “Apakah kamu selalu seperti itu pada semua wanita yang menyukaimu?”
“Menyukaiku?” Carlson mengangkat alisnya dan dengan lugas berkata, “aku tidak menyukainya.” pelayan wanita tadi itu lumayan cantik, tubuhnya juga sangat bagus, pria normal seharusnya tidak akan langsung menolaknya. Mungkin wanita itu juga pertama kalinya ditolak dengan begitu jelas, sehingga pada saat itu juga wajahnya menjadi sangat buruk.
Ariella tiba-tiba memikirkan perkataan Puspita, tidak bisa menahan diri untuk tidak melirik Carlson, pria normal biasanya tidak tahan untuk menolak wanita cantik, apakah Carlson benar-benar tidak menyukai wanita? Berpikiran begitu, Ariella menatap Carlson dengan sedikit ber-aura eksplorasi. Jika dia benar-benar tidak menyukai wanita, sebenarnya ini baik atau buruk untuknya?
Terdengar alunan musik yang merdu, lagu yang Ariella sangat akrab dan sangat suka, berjudul “Aroma-mu”.
Mendengarkannya, Ariella mulai bersenandung, alisnya berbinar-binar, matanya yang jernih sejernih kristal, dan itu tampak seperti peri.
Bersenandung, Ariella menyadari sebuah garis pandang yang luar biasa lembut. begitu mendongak melihat Carlson dengan tenang mengawasinya. Dia tersenyum padanya: “Ini adalah lagu yang sangat aku sukai.”
Carlson memberi isyarat kepada pelayan untuk menuangkan anggur merah untuk mereka dan dengan lembut bersulang: “Mau minum sedikit?”
Ariella melirik anggung merah Lafite yang berusia 82 tahun, anggur jenis ini terlalu mahal bagi golongan pekerja seperti dirinya, dan dia biasanya tidak memiliki kesempatan untuk bisa minum, pada saat ini ada yang bayar, dia pastinya tidak akan malu-malu. Dia mengangkat gelas anggurnya dan bersulang dengan Carlson: “Cheers!”
Carlson sedikit mengangkat alisnya: “Cheers!”
Ariella mengangkat gelas dengan satu tegukan meminum segelas anggur itu, ada semacam momentum heroik. Carlson tak berdaya menggelengkan kepalanya: “Bukan begini caranya minum anggur.” Bukannya dia sedih karena anggur ini, tapi Ariella mudah mabuk jika minum dengan metode, dan lagi tidak terlihat seperti seorang wanita. Tampaknya malah di seluk beluk tulangnya tersembunyi sesuatu yang akan terbuka, keliaran Ariella.
Tiga tahun lalu, diatas tubuh Ariella ada semacam vitalitas yang sangat menarik, begitu bersemangat, Ariella yang hari ini menyembunyikan semua sisi dan sudut tiga tahun lalu, diatas tubuhnya bertambah sebuah ketenangan.
Entah tiga tahun lalu atau tiga tahun kemudian, satu-satunya hal yang tidak berubah pada Ariella adalah optimismenya tentang kehidupan dan hasratnya untuk bekerja.
Ariella tidak membantah, secara naluriah menjilat bibir kilau seperti air itu. awalnya adalah gerakan yang tidak disengaja, tetapi menarik di mata Carlson, dan matanya perlahan naik sedikit terjangkit cahaya yang berbeda.
Ariella malah tidak mengetahuinya, karena senang dengan tergesa-gesa berkata: “Rasa anggur ini lumayan enak, minum segelas lagi sebelum makan.”
Kali ini Carlson memblokir pelayan dan secara pribadi memberikannya kepadanya dan berkata, “Minum pelan-pelan.”
“Oke.” Ariella mulut menjawab iya, tetapi tubuh tidak mendengarkan, lagi-lagi menghabiskan anggur itu dengan satu tegukan.
“Mudah mabuk jika minum dengan perut kosong.” Carlson melambai ke pelayan mengisyaratkan untuk membawa masuk makanan.
Dia menyuruh orang untuk menyiapkan dua porsi salad buah dan steak, semuanya dimasak dalam kematangan 70%.
Saat itu hampir jam sembilan malam, Ariella tidak makan siang. Ketika steak datang, dia tidak sabar untuk bertindak.
Namun, ketika pisau dan garpu Ariella mulai bersuara, pihak Carlson malah tenang seolah-olah tidak ada pergerakan.