“Tunggu aku.” Carlson tersenyum-senyum, baru balik badan mau pergi.
Melihat bayangan dia mau pergi, Ariella tiba-tiba merasa sedikit takut, sangat khawatir kalau dia tidak pergi, dia tidak pulang lagi.
Lagi?
Mengapa dia menggunakan kata “lagi”?
Juga tidak tahu belakangan ini dia kenapa, selalu tidak fokus, selalu terpikir bayangan yang aneh.
Terhadap Puspita, Efa dan Ferdian, dan yang lain selalu ada rasa familiar, seperti pernah bertemu.
Ariella masih belum terpikir jawabannya, lalu pintu kamar terbuka, Carlson menggendong Riella kecil yang seperti babi masuk ke dalam kamar: “Biarkan Riella kecil menemani kamu.”
Mana mungkin Carlson tidak mengerti mengapa Ariella terdiam, dia takut sendirian, jadi Carlson membawa Riella kecil kemari.
“Baiklah.” Ariella mengambil Riella kecil, dia hanya fokus pada mahkluk kecil itu, tidak memikir Carlson sedang apa.
Tiba-tiba diabaikan, sedikit merasa tidak senang. Tetapi setelah melihat senyuman Ariella, dia senang lagi.
Dia menggelengkan kepala, lalu pergi. Dia harus menyuruh orang siapkan makanan dan juga beres-beres, jangan sampai mengagetkan ibu dan anak berdua.
Riella kecil menangis sampai dengkur, sama sekali tidak sadar kalau papanya memindahkan dia.
Melihat muka Riella kecil yang merah, Ariella langsung melembut, dan tidak bisa menahan untuk memegang mukanya.
Walaupun Riella kecil merasa terganggu, menepuk tangan yang ada di wajahnya, bahkan mata saja tidak bergerak, dan lanjut tidur.
Ariella merasa dia lucu sekali, menundukkan kepala dan menciumnya, segala ketidaknyamanan pun mulai hilang.
Ariella memeluknya dan mendekatkan mukanya, tidak lama kemudian pun masuk ke alam mimpi, mimpi yang indah.
Tidak ada lagi mimpi buruk, juga tidak ada orang yang ingin menangkapnya, mimpi dia malam ini ada Carlson, Riella kecil dan dia…
Setelah mengganti baju bersih, Carlson membawa masuk bubur labu ke kamar, lalu melihat ibu dan anak berdua mukanya saling berdekatan , terlihat tidur dengan nyenyak.
Carlson meletakkan bubur di samping, duduk di pinggir ranjang melihat mereka berdua, dan juga tidak tega membangunkan Ariella yang sudah tertidur pulas.
Dia menyelimuti mereka berdua, lalu diam-diam melihati mereka, berharap bisa melihat mereka selamanya.
Akhir dari malam hari, Ariella tidur dengan nyenyak, tidak tahu berapa lama. Setelah bangun dan membuka matany, dia melihat muka bayi yang seperti diperbesar.
“Kakak…”
Riella kecil yang sudah bangun daritadi sudah menunggunya sangat lama. Sekalinya Ariella bangun, Riella kecil langsung pergi memeluknya, meninggalkan bekas air liurnya.
“Riella.” Ariella juga memeluknya dan menciumnya.
“Sudah bangun.”
Setelah mencium Riella, suara Carlson pun terdengar, Ariella mengangkat kepala dan melihat Carlson yang berpakaian rapi membaca koran di samping jendela.
“Iya.” Ariella dengan bodoh mengangguk.
Carlson yang tadinya memakai kemeja putih kini sudah berubah menjadi pria yang memakai jas abu-abu, gambaran yang begitu familiar, tetapi Ariella tetap tidak ingat.
Jangan-jangan dia kemasukkan mamanya Riella, makanya bisa melihat gambaran seperti itu.
Ariella cepat-cepat menggelengkan kepala, untuk menghilangkan gambaran itu lalu dia berpikir mengapa dia terus berpikir yang aneh-aneh.
“Masih ngantuk tidak?” Carlson bertanya lagi.
“Sudah tidak ngantuk.” Ariella menggelengkan kepala, tanpa sadar mukanya merah.
“Riella, kamu bawa kakak pergi cuci muka sikat gigi dan ganti baju, papa disini tunggu kalian turun sarapan.” Carlson berkata lagi.
“Baik papa.” Riella paling suka diberi tugas oleh ayahnya, dan juga akan menyelesaikan dengan antusias, membuktikan dirinya juga sangat hebat.
Riella tadinya mau menggulingkan badan untuk turun dari ranjang, tetapi karena tubuhnya yang terlalu kecil dan tidak pegang dengan benar, dia jatuh.
Ariella ingin menangkapnya, tetapi terlalu pelan jadi tidak tertangkap, dia melihat Riella jatuhke lantai.
Riella jatuh ke lantai, lalu bangun dengan susah payah, dengan mua kasihan berkata: “Papa..””Riella ingin kakak dan papa lihat kamu nangis?” Carlson melihati dia, merasa tidak tega dan juga lucu.
“Riella tidak nangis.” Apalagi di depan papa dan kakak Ariella, dia tidak akan nangis, dia tidak ingin kakak memiliki kesan buruk.
Ariella dengan tidak senang melihat Carlson lalu menggendong Riella: “Riella, kasih tau kakak, jatuh dimana? Apakah ada yang sakit?”
Riella lalu tengkurap di pundak Ariella dan berkata: “Riella tidak ada yang sakit, ayok Riella bawa kakak pergi cuci muka.”
“Bailah, Riella dan kakak pergi bersama.” Tidak puas karena Carlson tidak menasehati Riella tadi, Ariella bahkan tidak ingin melihatnya.
Melihat mereka ibu dan anak pergi ke kamar mandi bersama, Carlson menggelengkan kepala lagi, kelihatannya kedudukan dia di rumah akan segera menurun.
…..
Di meja makan, semuanya adalah kesukaan Ariella, dan juga makanan yang mereka sering makan bersama, dia ingin Ariella mengingat sesuatu dari sana.
Tapi Ariella bahkan tidak memerhatikannya, dia hanya fokus di Riella.
Beberapa hari ini Riella bahkan tidak menempel dengan dia, tidak mencari abang Hansel, seperti hanya bisa melihat Ariella.
Apakah ini yang namanya hati ibu dan anak terhubung,
Jelas-jelas mereka tidak tahu identitas satu sama lain, tapi sayang terhadap sesama begitu jelas, siapapun tidak bisa gantikan posisi mereka di hati satu sama lain.
Terus di kucilkan mereka berdua, Carlson berusaha agar mereka merasakan keberadaannya, mengambil satu makanan dan taruh di mangkok Ariella: “Riella bisa makan sendiri, kamu jangan sibuk menjaga dia, kamu juga makan sedikit.
“Baiklah.” Ariella menjawab dan tersenyum.
“Ariella, aku sudah bilang dengan atasanmu, beberapa hari ini kamu tidak usah pergi kerja ke kantor, kerja di rumah saja, bantu desain baju kita bertiga.”
Mendengar perkataan Carlson, Ariella pun bengong, lalu bertanya: “Carlson, sebenarnya seberapa mirip aku dengan istrimu?”
“Sama persis, tidak ada yang berbeda, bahkan senyuman saja sama, dan aku tertipu oleh senyuman yang sama berkali-kali.” Carlson ingin sekali berkata begitu, tapi tidak bisa, takutnya dia kaget.
Maka itu, dia berubah cara penyampaiannya: “Kamu adalah kamu, Ariella yang tidak bisa digantikan.”