“Carlson, jangan menatap lagi.” Ariella mendorong tangannya dan berkata dengan pelan.
Semua ini sudah berlalu, Ariella masih tidak ingin mengungkitnya, dan tidak ingin mengingatnya, baginya ini aib.
Carlson mengeluarkan sebuah obat salep, membuka tutupnya, dan terciumlah bau harum ke seluruh ruangan.
Ariella terheran-heran, “Apa ini? Kenapa begitu harum?”
“Obat bekas luka.” Sambil menjawab, Carlson mengoleskan salep itu ke bekas lukanya.
Setelah mengoleskannya, ia memijat ringan ke kulitnya, untuk meningkatkan penyerapan, dengan begitu hasil obatnya lebih terlihat.
Melihat dirinya yang begitu serius, tanpa sadar Ariella menciumnya ringan.
Setiap kali ia mencuri cium, Carlson selalu terdiam sejenak, sepertinya ia tidak menyangka Ariella akan melakukan hal itu, dan ia akan berpura-pura tidak terjadi apa-apa.
Ariella sangat senang melihat ekspresinya yang seperti ini, ekspresi yang antara dingin dan tak tahu harus berbuat apa, sangat lucu.
Tapi ekspresi ini kira-kira hanya dapat bertahan 3 detik, sangat singkat, karena itu setiap kali ia mencuri cium Carlson, ia selalu kehilangan kesempatan untuk melihat ekspresinya itu.
“Sudah.” Selesai mengoleskannya, Carlson menarik kembali celananya seperti tidak terjadi apa-apa, lalu menggendongnya dan menempatkannya di atas ranjang.
Dia berbalik badan hendak pergi, tapi Ariella menahannya, “Kau belum memberitahuku, apa yang ayah dan Efa sukai?”
“Tadi Efa sudah mengatakannya padamu.” Carlson menatapnya sambil berkata dengan tegas.
“Kapan Efa mengatakannya?” pikir Ariella, sama sekali tidak ingat Efa pernah mengatakan apa yang ia sukai.
Tiba-tiba Carlson mendekatinya, lalu menggigit ujung telinganya sambil berkata dengan pelan, “Ada sebuah hadiah yang pasti disukai seluruh keluarga.”
“Apa itu?” Ariella bertanya dengan segera.
“Bayi yang kau lahirkan bagi tuan Carlson ini.” Carlson menatap perut Ariella yang datar, ia tidak mengatakannya tidak dengan serius, namun sangat serius.
Muka Ariella yang bulat kembali memerah, lalu berkata dengan pelan, “Mana mungkin secepat itu.”
Setelah mereka melakukannya satu kali, siklus bulanannya masih seperti biasa.
Jika beberapa hari yang lalu bisa jadi, paling cepat membutuhkan waktu 1 bulan untuk mengetahuinya, mana mungkin kau bilang ingin punya anak lalu bisa langsung punya anak.
Melihat Ariella yang tengah memikirkan hal ini, Carlson sekali lagi merasa keluguannya ini sangat menggemaskan.
Selama 3 tahun sebelum ia menikahinya, dalam pekerjaan Ariella bekerja sangat mati-matian. Ketika menarik klien, lidahnya fasih dan pikirannya bersih.
Pernah satu kali karena ingin menarik 1 klien, pihak klien mempersulitnya. Ia memberinya 2 pilihan, yang pertama adalah menemani penanggung jawab mereka 1 malam, yang kedua adalah ia harus meneguk habis 2 botol bir putih itu sekaligus.
Tanpa pikir panjang, Ariella mengambil botol bir putih itu seperti air putih, ia menghabiskan 2 botol itu sekaligus.
Tujuan orang-orang itu jelas bukan agar ia minum bir tersebut, tapi ingin ia menyerahkan dirinya dan menemani mereka, dan berharap ia memenuhinya.
Tapi mereka sama sekali tak menyangka bahwa Ariella lebih memilih menggadaikan nyawanya dan tidak mengikuti keinginan mereka.
Selesai meminum bir itu, Ariella memaksa mereka menandatangani kontraknya. Begitu kontrak itu dipegangnya, ia segera menelepon 120 (hotline untuk rumah sakit), membersihkan lambungnya dan mengembalikan nyawanya.
Selain satu kali itu, setiap kali Carlson melihat data yang ada ia selalu teringat pada Ariella. Ada satu kali lagi ketika Ariella mengejar mobil seorang bos hingga berlari sekitar 1 km.
Bos itu sebenarnya tidak terlalu bagus, sikapnya merendahkan wanita, ia selalu merasa wanita seharusnya di rumah dan merawat anak, tidak seharusnya ke luar dan mengambil resiko.
Waktu Ariella menjadi penanggung jawab atas proyek Teknologi Inovatif dan mengajukannya pada Carlson, ia sangat tidak puas dengan hasilnya, dan melampiaskan kemarahannya pada Ariella.
Dia mengemudikan mobil, membuat Ariella mengejarnya sementara jalanan tertutup salju yang membeku, ia mengejarnya hingga bisa menyerahkan rencananya itu pada Carlson.
Saat itu Ariella tidak berpikir panjang, ia melepas sepatu hak tingginya, lalu mengejar mobil yang melaju pergi dengan bertelanjang kaki.
Kalau saat itu orang lain yang di posisinya, pastilah mereka telah menyerah dengan keadaan seperti ini, tapi Ariella berbeda dari yang lain.
Di dalam dirinya mengalir darah pekerja keras, ditambah lagi dia membutuhkan pekerjaan ini. Dia perlu pekerjaan ini untuk membuktikan pada dirinya sendiri, dan menggunakan pekerjaan untuk mengalihkan kepahitan yang ingin ia lupakan.
Memikirkan kejadian yang dulu menimpa Ariella, hati Carlson terasa seperti ditusuk-tusuk, terasa nyeri.
Karena itu ketika Ivander mengumumkan bahwa ia tidak jadi bekerja sama dengan Teknologi Inovatif, Carlson juga tidak mengumumkan bahwa Aces sudah membeli Teknologi Inovatif tersebut. Alasannya adalah karena ia ingin orang-orang kecil itu mengakhiri sendiri kerjasamanya dengan Inovatif, selain itu adalah karena ia tidak ingin memberikan kesempatan pada mereka sampai kapanpun.
Tapi Ariella yang ada di hadapannya sekarang, seringkali yang dilihatnya adalah Ariella yang bodoh dan lugu, yang wajahnya bisa memerah tanpa sebab.
Ada kalanya ia ragu, informasi yang dilihatnya saat itu tentang Ariella yang bekerja keras, sungguhkah adalah Ariella yang ini?
Dia tahu, itu pasti dia.
Dalam hal pekerjaan, ia memang punya sifat bersikeras, karena itu pula Ariella tidak ingin mengumumkan hubungan mereka.
Dalam kehidupan sehari-hari, Ariella adalah seorang gadis yang berperasaan lembut, wajahnya sering memerah, terkadang juga bisa bermanja dengannya, memasakkan makanan untuknya dan lain-lain. Dia selalu berusaha mempertahankan pernikahan mereka dengan perbuatannya.
Justru karena Ariella seperti itu, barulah membuat Carlson semakin ingin melindunginya. Ingin rasanya ia menyembunyikan Ariella di bawah lengannya, melindunginya dari hujan badai.
Sebelumnya, Carlson bahkan tidak berpikir untuk memiliki anak, bukan saja tidak terpikir untuk memiliki anak, bahkan untuk menikah saja tidak.
Malam ini begitu mendengar Efa berkata demikian, justru ia kini sangat menginginkan seorang anak.
Ia ingin satu, satu anaknya dan Ariella.
Mereka berdua bersama-sama membesarkan anak, bersama-sama menjalani kehidupan keluarga dengan 3 orang yang bahagia.
“Ariella, kalau sudah ada, apa kau mau melahirkannya?” Begitu memikirkannya, Carlson langsung menanyakannya.
Dia tetap menanyakan pendapatnya. Kalau ia setuju, barulah ia bisa dengan tenang membiarkannya hamil. Kalau ia tidak setuju, maka ia juga akan menghormati keputusannya, sebisa mungkin mencegah kehamilan, ia tak akan membiarkannya terluka.
“Aku, tentu saja setuju.” Ariella mengangguk kuat.
Meskipun Puspita pernah berkata padanya, jika usia muda sudah memiliki anak, maka kedepannya hidupmu akan selalu digantungi oleh anak, selamanya tidak akan ada hal lain lagi.
Tapi setelah Ariella memikirkannya dengan serius, baginya anak sama sekali bukan beban yang menggantungi hidupnya, melainkan dasar bagi sebuah keluarga, ia ingin memiliki sebuah keluarga yang utuh.
Dia ingin semuanya ini berlangsung secara alamiah, kalau ia bisa hamil maka ia akan hamil, tapi jika tidak, ia juga tidak menuntut.
Mendengar jawaban Ariella, Carlson merangkulnya ke dalam pelukannya, ia memeluknya dengan kuat, dan kemudian berkata dengan suara pelan padanya, “Hm, karena sudah diputuskan begitu, mari kita tidur lebih awal.”
Selesai membuang kata, Carlson melepaskan Ariella lalu membalikkan badan dan berjalan ke kamar mandi.
Mendengar perkataan Carlson, Ariella hanya bisa terbengong di tempat, bukankah kalau ingin punya anak berarti harus lebih berusaha di malam hari?
Kalau tidur lebih awal, lalu dari mana anak itu bisa ada?
Atau anak bisa tumbuh dari tanah?