Setelah mengantarkan Ariella pulang, Ferdian masuk dan duduk di ruang tamunya.
Pandangannya yang kacau itu terus menatap pada satu titik tertentu, setelah menatap sekian lama ia menghela nafasnya, lalu ia mengepalkan tangannya dan menonjok meja makan itu, pandangannya itu penuh dengan amarah yang meluap-luap.
Dia sebagai anak dari ayahnya, ayahnya terluka parah dan berkelana diluar sana, sudah melewati hari-hari yang sangat menderita selama bertahun-tahun, ia malah sama sekali tidak tahu tentang hal ini.
Kalau kali ini bukan ayahnya sendiri yang mencarinya, ia sepertinya seumur hidupnya juga tidak akan tahu kalau ayahnya masih hidup di dunia ini.
Mengingat pada saat itu sosok ayahnya yang tangguh, alis ayahnya yang begitu berwibawah, ayahnya yang……….
Namun beberapa tahun ini, ayahnya malah hidup dengan begitu rendah dan tanpa martabat……..
Menjalani hidupnya mau bilang seperti orang juga tidak seperti orang, seperti hantu juga tidak seperti hantu…….bahkan putranya sendiri pun tidak mengenalinya saat melihatnya.
Memikirkan penderitaan yang di alami ayahnya selama bertahun-tahun, Ferdian mengangkat tangannya dan menonjok wajahnya sendiri, ia benci dirinya sendiri yang begitu tidak berguna, ayahnya menderita selama bertahun-tahun diluar sana, tetapi dia tidak bisa berbuat apa-apa.
Sekali tonjokan tidak cukup, Ferdian menghajar dirinya sendiri selama dua kali, setelah menghajar dirinya seperti ini, itu membuat hatinya menjadi lebih baik.
Setelah selang beberapa waktu, Ferdian perlahan bangkit dan pergi ke ruang kerjanya.
Sesampai di pintu ruang belajarnya, dia mengangkat tangannya dan memegang gagang pintu, tetapi ketika dia memutar gagang pintu itu, dia tiba-tiba menghentikan gerakan tangannya itu.
Setelah membuka pintu kamar itu, pandangannya langsung tertuju pada meja di ruang kerjanya.
Didepan meja kerjanya, duduk seorang pria yang sebagian besar rambutnya sudah berubah menjadi warna putih, diwajahnya juga terdapat bekas luka bakar yang sangat jelas, siapa pun yang melihat pasti tidak bisa mengenalinya.
Bukan hanya luka bakar di wajahnya, punggungnya yang sudah bungkuk juga membuatnya terlihat menjadi lebih pendek, kelihatannya seperti orang tua yang sudah berusia delapan puluhan atau sembilan puluhan tahun, tampaknya seperti orang yang sudah melewati penyiksaan yang bertubi-tubi baru bisa berubah menjadi seperti ini.
Tetapi umurnya belum sampai enam puluhan, bekas luka yang begitu banyak ditubuhnya yang membuat ia tampak menjadi semakin tua.
“Ayah……”
Hanya untuk mengucapkan kata yang sangat sederhana itu, Ferdian tampak hampir menghabiskan seluruh kekuatan tubuhnya baru bisa mengucapkannya.
Tetapi suaranya itu sepertinya tidak terdengar oleh orang tua itu, matanya hanya tertuju pada layar laptop yang ada dimejanya, beberapa detik kemudian ia baru dengan perlahan mengedipkan matanya.
Ferdian juga tidak memanggilnya lagi, tetapi ia berjalan perlahan ke sampingnya, matanya juga tertuju pada layar laptop di atas mejanya.
Didalam layar itu tampak senyuman Ariella, setiap gerakan Ariella semuanya terlihat dengan jelas.
Sebelum Ariella datang, Ferdian sudah memasang kamera pengintai di ruang tamunya, tujuannya agar dia bisa merekam semua gerakan yang dilakukan Ariella, supaya pada saat ayah mereka merindukannya, dia bisa membuka rekaman itu dan melihatnya.
Setelah menemaninya lihat beberapa waktu, Ferdian menahan rasa sakit didalam hatinya dan mencoba untuk berkata: “Ayah, kamu sudah lihat terus dari tadi, kita istirahat dulu sebentar, nanti baru lihat lagi, gimana?”
“Ariella adalah putriku……..” Fernando sepertinya tidak mendengar perkataan yang dikatakan Ferdian, dia menunjuk-nunjuk Ariella yang ada di dalam layar, sambil tersenyum ia berkata, “Kamu lihat, bola matanya sama persis dengan mata ibunya, tetapi alisnya mirip denganku.”
“Bukan hanya alisnya yang mirip sama kamu, masih banyak kelakuannya yang mirip denganmu.” Ferdian tidak bisa menahan tawanya dan menyampaikannya pada ayahnya.
Ariella lahir di keluarga Situmorang, besar di keluarga Situmorang, ayah mereka tidak pernah menggendong putrinya sejak dari putrinya lahir sampai ayahnya hilang.
Fernando tidak sempat melihat anak ini lahir, tidak menemaninya tumbuh dewasa, Ariella adalah orang yang sangat ia cintai, penderitaan yang Ariella dan ibunya alami selama bertahun-tahun ini, membuat Fernando merasa sangat bersalah kepada mereka.
Sembari mereka berdua berbicara, air mata pun mulai mengalir dari mata Fernando, setetes demi setetes mengalir keluar dan membuat pandangannya menjadi sedikit buram.
Matanya tidak bisa melihat Ariella yang ada di dalam layar dengan jelas, tetapi di dalam hatinya dia bisa melihat Ariella dengan jelas, putrinya punya banyak kesamaan dengan dirinya.
“Ayah, kamu jangan berpikiran seperti itu. Sekarang kamu sudah kembali ke sisi kami, mulai sekarang kamu bisa melihat Ariella dan aku kapan pun yang kamu mau.” Ferdian melihat ayahnya, setiap kali ia melihat wajah ayahnya, hatinya serasa tersayat pisau.
Terutama saat ia melihat air mata ayahnya, Ferdian tidak bisa menahannya lagi, kemarahannya itu langsung meledak-ledak, tetapi ia tidak menemukan tempat untuk mencurahkan semua isi hatinya.
Sandoro yang menjerumuskan ayahnya menjadi seperti ini pun sudah mati, mereka juga tidak mungkin mencari Efa yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan apa yang terjadi pada tahun itu.
Fernando tidak bicara apa-apa, hanya air matanya yang terus mengalir, seolah mengeluarkan semua kesedihan yang telah dia pendam selama dua puluhan tahun.
“Ayah…….” Ferdian memanggil ayahnya, seperti mau menasehatinya untuk jangan nangis lagi, tapi ia tidak tahu harus bagaimana baru bisa menyuruh ayahnya jangan menangis lagi.
Selama ini yang terus dirindukan ayahnya adalah putrinya yang tidak pernah dipeluknya.
Sampai saat ini, ia hanya bisa melihatnya dari kejauhan, meneleponnya dan mendengar suaranya.
Hari ini ia bisa melihat Ariella dari jarak yang begitu dekat, mendengar suaranya, ayahnya sangat terharu, Ferdian juga bisa mengerti perasaan ayahnya.
“Ariella…….” Fernando mengusap air matanya, tangannya yang bergetar itu meraba wajah Ariella yang ada di dalam layar laptop itu.
Jelas-jelas adalah layar laptop yang dingin, tetapi saat Fernando meletakkkan tangannya di pipi Ariella, ia seperti bisa merasakan kehangatan dari wajah Ariella.
Dengan suara bergetar dia berkata: “Dia adalah putriku, dia adalah putriku, dia adalah putriku, dia adalah anakku…….”
Ia terus mengucapkan kalimat itu tanpa henti, bibirnya terus bergetar saat ia mengucapkan setiap kata yang keluar yang mulutnya.
“Ayah……” Selain mengucapkan kata Ayah, Ferdian benar-benar tidak tahu harus mengucapkan apa lagi.
Selama dua puluh tahun ini, ayahnya melewati hidup yang penuh dengan kegelapan, penderitaan, ia ingin menggantikan ayahnya untuk menanggung semua itu.
“Ferdian, menurut kamu apakah Ariella mau mengenal ayahnya yang seperti ini ?” Fernando terkejut sendiri dan menyimpan tangannya, ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya, “Tidak, tidak, tidak……. aku tidak boleh membiarkan dia melihat aku, dia pasti akan terkejut.”
Ferdian langsung menahan kedua tangan ayahnya, dengan keras ia berkata: “Ayah, kamu jangan seperti ini. Tadi kamu sudah mendengarnya sendiri, Ariella sudah bilang, tidak peduli kamu seperti apa, kamu tetap adalah ayahnya, Ariella tidak mungkin tidak mau mengenali kamu.”
“Tidak, aku tidak mau menakutinya, kamu jangan beri tahu dia aku ada disini.” Fernando melihat ke kanan dan ke kiri, dia mendorong Ferdian dan bersembunyi di bawah meja kerjanya, “Jangan biarkan dia menemukanku, aku tidak mau dia melihat aku.”
Ferdian bersujud dan menarik tangan ayahnya, lalu berkata: “Ayah, Ariella adalah putrimu, dia adalah adikku, aku lebih mengerti dia daripada kamu, dia sangat ingin melihatmu.”