Mục lục
NOVEL SUAMIKU TERNYATA SEORANG PRESDIR
Thiết lập
Thiết lập
Kích cỡ :
A-
18px
A+
Màu nền :
  • Màu nền:
  • Font chữ:
  • Chiều cao dòng:
  • Kích Cỡ Chữ:

Bab 371 Orang Yang Tumbang Harusnya Dia





Di Rumah Sakit Daerah Militer Kota Pasirbumi, lampu di ruang operasi darurat menyala.





Di luar ruang operasi, Ariella menunggu dengan cemas.





Menunggu dalam waktu yang lama, giginya terus menggigit bibirnya, bibirnya itu sudah digigit hingga sobek olehnya, darah telah menembus ke dalam mulutnya.





Kedua tangannya terkepal, kukunya menusuk di telapak tangannya, telapak tangannya juga berdarah.





Ariella tampaknya menggunakan metode ini untuk menghukum dirinya sendiri, di saat bersamaan juga untuk menenangkan dirinya, membuat dirinya tidak khawatir dan takut.





Ariella percaya tidak akan terjadi sesuatu pada Carlson, pasti tidak akan kenapa-kenapa …





Tidak peduli seberapa berbahaya situasinya, Ariella percaya bahwa Carlson pasti akan melaluinya, pasti akan muncul di hadapannya dan Riella kecil dalam keadaan baik-baik saja.





Tidak peduli bagaimana Ariella menghibur dirinya sendiri, tapi tidak ada cara untuk menyingkirkan rasa takut dan khawatir di dalam hatinya.





Selama lampu ruang operasi tidak padam, selama operasi masih terus berlanjut, selama Dokter tidak memberitahu bahwa Carlson baik-baik saja dan tidak berada dalam bahaya, maka Ariella tidak akan bisa tenang.





Ferdian yang bergegas datang setelah menerima berita, melihat Ariella yang berdiri di depan pintu ruang operasi bagai patung, kedua matanya terus menatap pada lampu di pintu ruang operasi yang menyala.





“Ariella–” Ferdian berjalan ke sisinya, memeluknya dengan erat, “Jangan khawatir, Carlson pasti tidak akan kenapa-kenapa.”





Ariella menoleh dan tersenyum lembut pada Ferdian, mengangguk: “Hmm, aku tahu.”





Ferdian tahu bahwa Ariella benar-benar merasa khawatir di dalam hatinya, tapi dia tidak ingin menunjukkannya, dia juga tidak tahu harus berkata apa untuk menghiburnya.





Dia hanya sedikit meningkatkan kekuatannya ketika memeluknya, berharap dirinya bisa memberi Ariella sedikit kekuatan menggantikan Carlson, menemani Ariella menunggu Carlson keluar.





Setelah kelompok Sandoro ditahan, Darwin juga bergegas datang, raut wajahnya sangat tidak enak diliat, juga tidak menyapa Ariella, berdiri sendirian di lorong untuk merokok.





Merokok satu demi satu, ada seorang perawat yang datang, dan dengan ramah berkata: “Tuan, di rumah sakit dilarang merokok.”





Setelah Darwin meliriknya sekilas dengan dingin, perawat kecil yang melihat itu kemudian lari, tapi Darwin lalu memadamkan rokoknya, raut wajahnya juga makin tertekuk.





Tidak tahu bagaimana dengan Efa?





Tidak tahu apakah Efa bisa melewatinya?





Jelas-jelas datang untuk mengunjungi Carlson, tetapi orang yang dia pikirkan dalam benaknya adalah Efa, memikirkan sosoknya yang kesepian ketika dia berbalik badan.





Pria tadi adalah tunangan Efa, ada orang itu yang akan merawat Efa, mungkin Efa akan keluar lebih awal dari insiden ini.





Tapi begitu memikirkan Efa akan bersama dengan pria itu, Darwin megepalkan tinjunya, tulang-tulangnya berbunyi.





Sialan!





Dia memaki tanpa suara, urat di dahinya muncul, ekspresinya tampak menakutkan.





Saat ini, suasana di ruang operasi bahkan lebih tegang.





Meskipun peluru tidak melukai organ penting Carlson, tapi dia bertahan terlalu lama, kehilangan darah terlalu banyak, saat ini masuk ke dalam keadaan koma yang serius, sangat mungkin tidak akan bisa tersadar kembali.





Carlson yang tidak sadar terbaring di meja operasi yang dingin dan berdarah, kemeja putih yang dipakainya itu hingga berwarna merah sudah dilepas dan diletakkan di samping.





Beberapa dokter dan perawat mengelilingi meja operasi, ahli bedah berusaha mengeluarkan peluru dari dalam tubuhnya…





Waktu berlalu, satu jam berlalu, dua jam telah berlalu … Semakin banyak orang di luar ruang operasi yang semakin cemas.





Bunyi jam berdetak di dinding, setiap kali berbunyi, seakan seperti mengetuk hati Ariella, akan membuatnya kesulitan bernafas.





“Ariella, duduklah sebentar.” Operasi Carlson telah dilakukan selama beberapa jam, dan Ariella berdiri di pintu selama beberapa jam, Ferdian khawatir jika Ariella terus seperti ini, maka ketika Carlson keluar dari ruang operasi maka Ariella yang tumbang.





“Aku tidak membutuhkannya.” Ariella ingin berdiri di tempat yang terdekat dengan Carlson, menjaganya, ingin membuatnya tahu bahwa Ariella selalu berada di sisinya.





Ferdian dengan tidak berdaya menghela nafas, hanya bisa menemaninya berdiri, menemaninya untuk terus menunggu.





Tidak tahu terlewati berapa lama, lampu di ruang operasi akhirnya padam, Dokter keluar dari ruang operasi.





Ketika melihat Dokter, Ariella ingin bertanya, tapi ketika membuka mulut, menyadari bahwa dia tidak bisa berkata apa-apa.





Ariella sangat gugup hingga dia menelan ludah, dia mendengar Dokter berkata: “Nyonya Carlson, kamu sudah mengeluarkan peluru yang ada di tubuh Presdir Carlson, tapi karena dia kehilangan terlalu banyak darah, masih dalam keadaan koma parah. Kami perlu mengirim Presdir Carlson ke unit perawatan intensif untuk diamati 24 jam. Jika selama 24 jam tidak… ”





“Tidak akan.” Ariella tiba-tiba menyela dokter dan dengan tegas berkata, “Tidak ada kata jika. Dia pasti akan bangun.”





Dokter tidak tahu harus berkata apa, mengangguk kemudian berkata: “Sebelum masuk ke ruang perawatan intensif perlu berganti dengan pakaian yang telah didisinfeksi. Nyonya Carlson, menyusahkanmu untuk ikut dengan perawat untuk bersiap.”





Carlson sedang berbaring di ranjang putih, kedua matanya tertutup, bibirnya pucat tanpa ada warna darah… Dia berbaring dengan begitu tenang, napasnya sangat lemah hingga membuat orang hampir tidak bisa merasakannya.





Ariella duduk di tepi ranjangnya, mengawasinya dengan tenang … Benaknya tidak bisa tidak memikirkan hal-hal yang terjadi di antara mereka sebelumnya.





Dia selalu berkata kepadanya: Ariella, jangan takut, ada aku.





Dia selalu berkata padanya: Ariella, aku suamimu.





Carlson selalu memikirkannya ketika menemui masalah.





Ariella sangat beruntung, setelah dikhianati oleh semua orang, dia bisa bertemu Carlson dan bisa menikah dengannya, bisa melahirkan anak bagi mereka.





Memikirkan segala sesuatu di masa lalu, Ariella memegang tangan Carlson dengan erat, bergumam: “Carlson, aku di sini, aku akan selalu menjagamu, jangan takut.”





Tapi Carlson tidak memberikan reaksi sedikitpun padanya, masih berbaring dengan tenang, setenang jiwa yang sudah melayang pergi, hanya menyisakan raganya yang terbaring di sini.





“Carlson …” memanggil namanya, Ariella tiba-tiba tercekat.





Jika bukan karena Carlson begitu bodoh, orang yang seharusnya berbaring di sini adalah Ariella dan bukanlah Carlson.





……





Rico mengendarai mobil sport merahnya dan membawa Efa berkeliling Kota Pasirbumi, akhirnya mereka pergi ke Gunung Wutong yang merupakan tempat tertinggi di Kota Pasirbumi.





Dia turun dari mobil dan membuka pintu untuk Efa, kemudian berkata: “Ayo pergi, kita bisa berdiri di titik tertinggi di Kota Pasirbumi. Kamu berdiri di titik tertinggi dan berteriak beberapa kali, memaki, keluarkan apa yang kamu pendam di dalam hatimu. ”





Tidak menunggu Efa menyetujuinya, Rico menariknya pergi, jalan gunung adalah jalan yang dilalui orang, jalan itu sangat panjang dan terjal, setiap langkahnya, serasa seperti melangkah di lubang.





Rico merangkul pinggang Efa, dan Efa menghempaskan tangannya: “Singkirkan tanganmu. Apa pinggangku itu boleh kamu sentuh?”





“Haha …” Rico tertawa dan menarik kembali tangannya, kemudian berkata, “Begini baru benar. Ini adalah Efa yang kukenal.”





Sore ini, dia menarik Efa mengelilingi seluruh Kota Pasirbumi, Efa duduk di kursi samping pengemudi dan tidak berbicara dari awal hingga akhir, melihat ke jendela sambil melamun, tidak tahu apa yang dia pikirkan.

Danh Sách Chương:

Bạn đang đọc truyện trên website TruyenOnl.COM
BÌNH LUẬN THÀNH VIÊN
BÌNH LUẬN FACEBOOK